4.1.07

SIMPOSIUM MARXISME INDONESIA I

Draft Rancangan Kegiatan

”Kritik terhadap Pemikiran Karl Marx
dalam Wacana Intelektual dan Gerakan Sosial di Indonesia dan Dunia”


Bandung, 1-3 Mei 2008


A. Latar belakang

Karl Marx adalah filsuf, ahli ekonomi, ahli sejarah, sekaligus sosiolog. Dianggap demikian karena pemikirannya banyak memberikan sumbangan terhadap disiplin-disiplin tersebut. Di samping itu, gagasan-gagasan Karl Marx tentang masyarakat banyak mengambil bukti dari temuan-temuan dalam ilmu sosial seperti sejarah, arkeologi, dan antropologi. Dengan demikian, ada hubungan timbal-balik antara pemikiran Karl Marx dan ilmu sosial.

Pemikiran Karl Marx juga banyak mengilhami gerakan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan yang dialami bangsa-bangsa kulit berwarna. Demikian pula di Indonesia, tidak bisa dipungkiri betapa eratnya pemikiran Karl Marx dengan gerakan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh kemerdekaan seperti Soekarno, Tan Malaka, Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta banyak diilhami pemikiran Karl Marx.

Sebagian pihak memandang Marxisme sudah usang, sementara pihak lainnya masih memandang arti pentingnya analisis dan pemikiran Karl Marx dalam konteks kekinian. Selain adanya stigma di kalangan masyarakat, keragaman tafsir atas pemikirannya juga telah melahirkan aneka sistem pemikiran yang menurut sebagian pihak sering tidak selaras dengan pemikiran Karl Marx sendiri. Dengan kerumitan berbagai persoalan yang melingkupi pemikiran Marx, bagaimana kritik bisa diajukan terhadap pemikirannya? Apa saja pelajaran yang bisa tetap diperoleh dari pemikirannya? Bagaimana sikap ilmuwan sosial terhadap warisan Karl Marx dalam bidang ilmu mereka? Bagaimana menjelaskan secara kritis pemikiran Marx dan arti pentingnya di masa kini?

”SIMPOSIUM MARXISME INDONESIA I akan menyediakan ruang untuk berdiskusi, menganalisis, dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam kaitannya dengan landasan empiris kekinian serta keragaman persoalan masyarakat di Indonesia.”

B. Topik Simposium

Topik I
Marxisme dan Ilmu Sosial

Sub-Topik:

* Pemikiran Marx dalam Pengajaran Ilmu Sosial dan Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Perkembangan Marxisme
* Mengkaji ulang sumbangan Marx dalam Penelitian Ilmu Sosial
* Kritik terhadap Filsafat Sosial Marx
* Teori Ekonomi dan Kritik Pembangunan
* Marxisme dalam Khasanah Ilmu Sosial Indonesia


Topik II
Marxisme dan Gerakan Sosial

Sub-Topik:

* Marxisme dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
* Paradigma Gerakan Sosial dari Marxis Ortodoks hingga Pasca-Marxis
* Gerakan Sosial Kontemporer: Anti-Neoliberal, Anti-Globalisasi
* Kritik Gerakan Keagamaan terhadap Marxisme
* Gerakan Marxis di Negara-negara Maju dan Dunia Ketiga


Informasi, Saran dan Masukan Kirim ke Alamat Email:

simposium-marxisme@rumahkiri.net
Alamat email ini telah dilindungi dari spam bots, Javascript harus aktif untuk melihatnya
marxisme_indonesia@yahoo.com


Baca selengkapnya!

1.1.07

Pemimpin Harus Punya Visi

Dialog Peradaban
Kamis, 28 Desember 2006

Jakarta, Kompas - Seorang pemimpin harus mempunyai visi dan bisa melihat keluar (outward looking) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, realitas kepemimpinan nasional selama ini masih melihat ke dalam (inward looking), seperti katak dalam tempurung.

Penilaian itu disampaikan Kepala Center on Islam and State Studies Universitas Paramadina, Jakarta, Yudi Latif di Jakarta, Rabu (27/12). Soekarno adalah satu contoh pemimpin yang mampu keluar dari keterkungkungannya.

Untuk mendorong perubahan cara pandang pemimpin itu, Center on Islam and State Studies bersama Institute for Policy and Community Development Studies, ResPublica Institute, dan sejumlah orang yang peduli akan menggelar dialog antarperadaban di Jakarta. Dialog itu akan menghadirkan Presiden Venezuela Hugo Rafael Chavez Frias dan Presiden Bolivia Juan Evo Morales Ayma pada Maret 2007.

"Ini dialog yang mencerminkan pluralisme dan lintas kultural. Jika berhasil, ini menjadi modal yang baik untuk kepemimpinan nasional," kata Yudi.

Budiman Sudjatmiko dari ResPublica Institute menambahkan, Presiden Chavez dan Presiden Morales adalah dua figur pemimpin di Amerika Latin yang mampu melihat keluar dan bervisi. Mereka berani mengambil risiko untuk berhadapan dengan kekuatan besar dunia demi membawa kesejahteraan rakyatnya. (tra)


Baca selengkapnya!

30.12.06

Masyarakat Sipil Mengundang Chavez dan Morales ke Indonesia

Baru-baru ini, berbagai kelompok dan individu masyarakat sipil yang dimotori oleh Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS), ResPublica Institute dan Centre for Islam and State Studies (CISS) Universitas Paramadina, mengadakan jumpa pers perihal rencana mengundang Presiden Republik Bolivarian Venezuela, Hugo Chaves dan Presiden Bolivia, Evo Morales. Berikut adalah salinan siaran pers tersebut:

Forum Dialog Antar Peradaban mengundang dua pemimpin Amerika Latin, Presiden Hugo Rafael Chávez Frías dari Republik Bolivarian Venezuela dan Presiden Juan Evo Morales Ayma dari Republik Bolivia. Kedatangan para pemimpin Amerika Latin mengawali upaya menciptakan kesempatan berlangsungnya dialog untuk memulai membangun jembatan antara berbagai pihak.

Kegelisahan akan konflik berkepanjangan, dari tingkat komunal sampai global terasa semakin menguat. Perlu dialog antar peradaban untuk mencari solusi menghindari skenario "perang antar peradaban" dengan menciptakan "jembatan" lewat serangkaian dialog antar peradaban. Hal ini menjadi tanggung jawab Indonesia, yang sesuai dengan konstitusinya mempunyai peran untuk "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial" dan tanggung jawab historisnya sebagai penggagas Dasa Sila Bandung.

Dari kunjungan ini diharapkan terjadi pertukaran pandangan nyata antara dua peradaban, yang selanjutnya diharapkan bisa mengawali terciptanya suatu dunia yang semakin damai dan adil. Pengalaman keduanya berhadapan dengan kekuatan besar dunia, mencari jalan untuk membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, dengan mencoba berbagai kebijakan yang berpihak pada kelompok miskin (pro-poor policies) merupakan hal yang layak dipelajari oleh dunia.

Kelompok kerja yang berperan sebagai fasilitator terdiri atas: Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS); ResPublica Institute; dan Center on Islam and State Studies (CISS) Universitas Paramadina; dan sejumlah warga negara yang peduli di antaranya Widodo Harjoprawito; Sjarif Bastaman; Aria Bima; Maria Hartiningsih.

Pada langkah selanjutnya akan juga diundang pemimpin-pemimpin lain yang dinilai bisa berkontribusi pada pembentukan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Jakarta, 27 Desember 2006.

Pemrakarsa:

IPCOS :
Johan O. Menajang
Joe Fernandez
Rahmat A. Prakoso

ResPublica Institute :
Budiman Sudjatmiko
Martin Manurung
Rio Siagian
Dadang Juliantara

CISS Universitas Paramadina :
Yudi Latief
Abdul Hakim

Individu :
Arya Bima
Sjarif Bastaman
Widodo Harjoprawito
Maria Hartiningsih

Contact Person : Rahmat A. Prakoso
Jln. Ciomas V No. 4, Kebayoran Baru, Jakarta, Indonesia.
HP: 0812 8496 785, Telp: (62-21) 724 6871, Fax: (62-21) 720 1984.
Email: relations@Ipcos .or.id


Baca selengkapnya!

14.8.06

“MENGAPA DIBUTUHKAN FRONT PERSATUAN NASIONAL” SEBUAH DRAFT PENDIRIAN PARTAI FRONT

Sebuah Proposal

KOMITE PERSIAPAN – PARTAI PERSATUAN PEMBEBASAN NASIONAL (KP PAPERNAS)
Jl. Tebet Barat Raya Nomor 5, RT/15 RW/01 Tebet, Jakarta Selatan - 12820
Telp. (021) 8305819 E-Mail : kp_papernas_pusat@yahoo.com

BAB I
LATAR BELAKANG SITUASI EKONOMI-POLITIK

1. Pemerintahan SBY-Kalla dan Neoliberalisme

Indonesia adalah sebuah negeri kapitalis yang perekonomiannya tergantung dan didominasi oleh kepentingan negeri-negeri imperialis. Dalam kondisi semacam ini rakyat Indonesia selama puluhan tahun hingga saat ini menjadi korban penghisapan dan perampasan kesejahteraan dan sumber daya alamnya oleh kaum imperialis dan kakitangannya di dalam negeri. Sejak sebelum kejatuhan Soeharto, dominasi modal asing telah terjadi di Indonesia. Penguasaan tersebut terdapat dalam industri sektor ekstratif (pertambangan hasil hutan), sektor perakitan, dan manufaktur ringan melalui perusahaan-perusahaan sub-kontraknya. Situasi dominasi ini meningkat signifikan setelah krisis ekonomi antara tahun 1997-1998. Ketidakmampuan rejim Soeharto mengatasi krisis ini membuat satu per satu sektor ekonomi, baik di sector produksi dan distribusi, sampai ke perencanaan ekonomi, diserahkan dan diambil alih oleh kapitalis asing. Lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional (IMF, Bank Dunia, Paris Club, WTO) adalah konsorsium global yang mewakili kepentingan imperialis dari seluruh dunia untuk menghisap dan menjarah asset-aset ekonomi nasional dan untuk menindas hak-hak kesejahteraan rakyat Indonesia. Liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, liberalisasi sistem keuangan, penekanan belanja negara (termasuk pemotongan subsidi), obral murah aset-aset/privatisasi yang berlangsung secara besar-besaran adalah manifestasi dari berjalannya satu proses formasi modal yang baru, formasi modal dari kekuasaan yang lebih loyal kepada kepentingan kaum imperialis neo liberal. Kebijakan ini telah dikenal luas dengan sebutan neoliberalisme. Seperangkat Program Penyesuaian Struktural itu adalah ciri yang dikenal umum dengan baik sebagai kapitalisme neo liberal.

Kebijakan pemerintahan SBY – Yusuf Kalla secara ketat berjalan dalam kerangka kapitalisme neo liberal ini. Dalam waktu satu tahun berkuasa, pelaksanaan kebijakan neoliberal selalu didahulukan sehingga menguatkan karakternya yang khas sebagai kaki tangan kapitalis asing, khususnya yang bermodal besar. Sudah cukup banyak bukti bahwa pemerintahan ini menjalankan bentuk-bentuk ekonomi neoliberal, melanjutkan apa yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Mulai dari mencabut subsidi (baik BBM, TDL, pupuk, dll), menjual aset-aset yang dalam tahun 2005 lalu ditargetkan 3,5 trilun rupiah dari hasil penjualan dan 1 triliun rupiah pada 2006 (yang digunakan untuk membayar utang luar negeri), liberalisasi perdagangan dengan kasus terbaru impor beras yang menyengsarakan petani, sempai kebijakan-kebijakan pro pasar lainnya. Jadi siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari sistem kapitalisme neoliberal ini telah menjadi sangat jelas.

Pelaksanaan kebijakan ini tidak dijalankan sendiri oleh pemerintahan SBY-JK, melainkan juga atas dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagian besar pemilik (pengontrol) media massa nasional, serta ahli-ahli ekonomi pendukungnya. Peran DPR dapat terlihat jelas dari politik anggaran yang tercantum dalam APBN, di mana (sebagai contoh), porsi untuk membayar utang luar negeri jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta keseluruhan anggaran pembangunan.

Menjadi jelas, bahwa seluruh kekuatan yang berkuasa, atau para pemegang otoritas pemerintahan, berada di pihak kaum imperialis neoliberal. Sementara di sisi lain kekuatan-kekuatan yang berada di posisi menentangnya, belum dapat berada diseberangnya. Sampai sejauh ini pihak yang mewakili kepentingan kaum imperialis neo liberal berada dalam posisi politik yang unggul, sedang pihak yang menentang masih belum dapat melawan secara efektif dan mengubah imbangan politik tersebut.

2. Liberalisasi Politik dan Kebutuhan Alternatif

Harapan rakyat akan perubahan ke kondisi yang lebih baik tidak dapat diwujudkan di bawah pemerintahan SBY-JK. Kepercayaan rakyat terhadap elit-elit yang berkuasa juga cenderung menurun seiring semakin banyak kebijakan yang anti rakyat yang dijalankan oleh elit-elit ini. Kecenderungan ini dapat dibuktikan dari hasil pemilihan umum 2004 lalu, dimana dukungan terhadap seluruh partai-partai dan figur-figur politik tradisional merosot, serta semakin berkembang luasnya aksi-aksi perlawanan rakyat yang dilakukan untuk menentang setiap ekses neoliberalisme di segala sektor.

Kebebasan politik yang diperoleh rakyat—meski masih dibayangi dan dihambat oleh sisa-sisa kekuatan militerisme dan pro kediktatoran Orde Baru—telah mulai dimanfaatkan untuk pembangunan wadah-wadah perjuangan, sampai dengan mengembangkan bentuk-bentuk perjuangannya. Aksi massa terjadi hampir setiap hari di seluruh daerah, di setiap level teritorial. Setiap sektor rakyat, buruh, tani, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, guru, pegawai negeri berpangkat rendah, paramedik, dan sektor-sektor yang pada masa sebelumnya relatif mapan, mulai turut dalam perjuangan massa. Aksi massa telah menjadi budaya perlawanan dan investasi perjuangan rakyat yang sudah tidak dapat dipukul mundur oleh kekuatan reaksioner manapun. Aksi massa adalah satu proses maju dan hasil langsung dari perjuangan menentang kediktatoran Orde baru.

Di sisi yang lain, kebebasan politik ini dimanfaatkan juga oleh kaum elit untuk memperkuat kekuasaan mereka. Bukan rahasia lagi, setelah berada di kekuasaan, mereka tidak menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengangkat rakyat dari penderitaan, melainkan sebaliknya untuk menindas. Mereka menyediakan dan memfasilitasi berbagai lembaga baru sebagai saluran politik rakyat, namun semata-mata bertujuan untuk meredam, menumpulkan, dan melunakkan kemarahan dan perlawanan rakyat. Contohnya adalah dengan membentuk berbagai macam Komisi, atau juga memfasilitasi berbagai macam NGO, lembaga riset dan sejenisnya, yang sejalan dengan ideologi kelas penguasa. Mereka juga juga mengumbar jargon-jargon populisme, berkompetisi senyaring-nyaringnya agar didengar rakyat. Namun ketika kekuasaan sudah didapat, mereka mengeluarkan dan menyetujui berbagai kebijakan ekonomi yang pro kepentingan kaum imperialis neoliberal dan menindas rakyat.

Perubahan politik dominan yang terjadi adalah tumbuhnya berbagai instrumen, lembaga-lembaga demokrasi borjuis, kebebasan dalam batas-batas demokrasi borjuis. Sedang dalam lapangan kekuasaan yang terjadi hanyalah siklus kekuasaan dari berbagai klik oligharki modal yang menjadi kakitangan dan kepanjangan tangan negeri-negeri imperialis. Pemerintahan SBY-Kalla, maupun pemerintahan Megawati yang digantikannya juga mewakili karakter yang sama.

Situasi ini terjadi, karena kaum pergerakan belum mampu secara efektif memanfaatkan keterbukaan ruang demokrasi, sekalipun masih dalam batas-batas demokrasi borjuis. Instrumen-instrumen, dan lembaga-lembaga demokrasi borjuis sejauh ini belum dapat dimanfaatkan oleh kaum pergerakan untuk kepentingan-kepentingan memajukan perjuangan rakyat. Dalam situasi keterbukaan serta kebangkitan perlawanan dari seluruh kelas dan golongan menderita, dituntut taktik-taktik perjuangan baru yang sesuai dan tepat, agar kemajuan perjuangan rakyat dapat berkembang secara lebih signifikan.

Sekalipun demikian patut untuk dicatat oleh sejarah, proses perubahan politik sejak perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru telah mencatat sukses-sukses dan kemajuan yang berarti, dalam perkembangan gerakan dan kesadaran rakyat. Tumbuh dan berkembangnya budaya aksi massa dan perlawanan rakyat, juga organisasi-organisasi perjuangannya serta daya kritis rakyat dalam menyikapi berbagai perkembangan ekonomi politik di nasional maupun di lokal-lokal adalah ekspresi politik nyata dari kemajuan yang telah dicapai itu. Serikat buruh, organisasi tani, serikat rakyat miskin kota, organisasi mahasiswa tumbuh berkembang sebagai fakta dari proses kemajuan yang sudah berhasil dicapai. Situasi ini adalah cerminan obyektif dan potensi perjuangan rakyat yang berharga. Namun situasi ini juga merupakan ekspresi kehendak perjuangan rakyat yang menuntut dipenuhinya syarat-syarat perjuangan dan alat-alatnya yang lebih maju dan lebih sesuai dengan perkembangan ini.

Lahirnya alat dan bentuk-bentuk perjuangan yang lebih maju, dan lahirnya alat perjuangan alternatif, adalah kehendak kongkrit dari perjuangan rakyat. Hingga kini, kaum pergerakan belum mampu menyediakan dan menjawab tentang alat perjuangan alternatif ini. Berdirinya berbagai partai progresif, serikat-serikat buruh, ormas-ormas tani, organisasi-organisasi semi proletariat perkotaan, baik di nasional maupun lokal adalah positif. Namun kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan memajukan berbagai segi positif itu menuntut alat perjuangan yang lebih daripada itu.

BAB II
PERJUANGAN RAKYAT MEMBUTUHKAN POLITIK FRONT PERSATUAN NASIONAL

Sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi kaum pergerakan untuk menyatukan berbagai potensi dari gerakan rakyat yang terfragmentasi di berbagai organisasi, tuntutan, orientasi perjuangan yang semata-mata bersifat lokal dan sektoral. Penyatuan potensi dari seluruh kekuatan gerakan rakyat adalah tuntutan bagi perjuangan melawan imperialisme dan perebutan seluruh hak-hak demokratik rakyat yang berpengharapan untuk menang. Oleh karena itu politik front persatuan nasional adalah kebutuhan mendesak bagi gerakan rakyat untuk dapat secara efektif melawan kekuatan imperialis neo-liberal dan kakitangannya di dalam negeri dengan seluruh kepentingannya.

Tujuan dari politik front persatuan nasional yang pokok adalah penyatuan kekuatan dalam arti menggalang kerjasama untuk membangun alat perjuangan bersama dari seluruh unsur gerakan rakyat yang demokratik dan anti imperialisme. Namun yang tidak kalah pentingnya atau sebagai tujuan jangka pendeknya, adalah mampu menciptakan alat perjuangan bersama yang dapat menjawab kebutuhan untuk merebut semaksimal-maksimalnya ruang demokrasi borjuis –yaitu dengan membangun partai front—dan dimanfaatkan untuk tujuan perjuangan yang lebih besar yaitu, merebut seluruh kekuasaan untuk kepentingan kelas buruh, kaum tani, dan semiproletariat perkotaan yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini.

Kerja-kerja persatuan di antara gerakan rakyat yang selama ini sudah terjalin, walau baru sebatas persatuan-persatuan dengan ikatan platform yang parsial dan berada dalam momentum-momentum yang pendek, merupakan investasi yang positif, sekaligus inti dari kebutuhan front persatuan nasional yang lebih strategis sifatnya. Karena front persatuan nasional dalam bentuk partai front sudah menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhirnya. Partai front sebagai bentuk dari front persatuan nasional ini adalah alat bersama untuk menghadapi seluruh kekuatan pendukung imperialisme neoliberal di dua medan perjuangan yaitu medan gerakan massa dan medan elektoral.


BAB III
UNSUR-UNSUR POTENSI FRONT PERSATUAN

1. Organisasi massa dari kelas buruh, kaum tani, mahasiswa, rakyat miskin kota, pemuda, perempuan, organisasi lingkungan yang berskala nasional yang demokratik, dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.

2. Seluruh Partai politik yang demokratik dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas yang bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.

3. Organisasi massa dari kelas buruh, kaum tani, mahasiswa, rakyat miskin kota, pemuda, perempuan, organisasi lingkungan, masyarakat adat dan suku anak dalam di daerah-daerah yang demokratik, dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas dan bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.

4. Individu-individu yang demokratik dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas dan bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.

BAB IV
RANCANGAN PROGRAM PERJUANGAN DARI FRONT PERSATUAN NASIONAL

Sebagaimana telah disimpulkan, sumber kehancuran kehidupan rakyat adalah dominasi kaum imperialis dengan kakitangannya di dalam negeri, dimana faksi SBY-Kalla yang menguasai pemerintahan sebagai kakitangan utamanya. Kaum imperialis dan kakitangannya juga, baik yang sedang berkuasa maupun mantan-mantan kakitangannya yang sudah ditinggalkan –seperti faksi cendana—merupakan sumber dari segala penindasan terhadap hak-hak demokrasi rakyat.

Oleh karena itu ciri atau karakter pokok dari program perjuangan Front Persatuan Nasional adalah anti imperialisme dan menjunjung tinggi hak-hak demokrasi rakyat. Manifestasi dari ciri atau karakter yang pokok dari program perjuangan yang anti imperialis dan menjunjung tinggi hak-hak demokrasi rakyat adalah: secara ekonomi mampu menjawab problem-problem kesejahteraan rakyat yang bersifat mendesak dan mampu menjadi dasar dan bersifat memajukan perkembangan tenaga produktif nasional agar program industrialisasi nasional menjadi berhasil, tangguh dan mandiri; dan secara politik adalah mempertahankan ruang demokrasi, memperluasnya, dan menentang potensi-potensi dari kekuatan dan sistem kekuasaan yang mengancam demokrasi.

Program mendesak dari Front Persatuan nasional adalah:

1. Penghapusan hutang luar negeri dan penarikan kembali obligasi rekapitalisasi perbankan.

Dua komponen yang dibiayai dari APBN ini adalah sumber pemborosan anggaran yang terbesar, karenanya menghambat kemampuan keuangan negara bagi program industrialisasi nasional, menghambat pemassalan teknologi, dan menghambat program-program pembentukan capital social—seperti pendidikan dan kesehatan—yang menjadi penunjangnya. Dalam tahun anggaran 2006 ini saja dana APBN yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga dari hutang luar negeri mencapai sekitar 140 triliun atau sekitar 27% dari total pendapatan/pengeluaran APBN. Dari angka itu, 11% untuk membayar bunga hutang, dan 16% untuk cicilan pokok. Bandingkan dengan anggaran untuk pembangunan dalam APBN 2006 yang hanya 7%. Selain itu beban hutang ini juga bersifat merampok uang rakyat, karena sebagian besar hutang luar negeri ini hanya dinikmati oleh negeri-negeri kreditur dan kaum kapitalisnya. Juga minoritas kaum kapitalis birokrat dan kroni dari pemegang kekuasaan di Indonesia. Mereka ini, kroni pemegang kekuasaan di Indonesia, menjadi pemasok dan kontraktor dari proyek-proyek yang dibiayai dari hutang luar negeri. Sementara itu dana dan bunga obligasi rekapitalisasi perbankan tidak lain dan tidak bukan merupakan subsidi yang dinikmati para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon, dan sejenisnya. Praktek ini telah berlangsung selama puluhan tahun sejak berdirinya Orde Baru, dan akan terus membebani rakyat selama puluhan tahun ke depan tanpa keberanian untuk memperjuangkan penghapusannya.

Berbagai macam metode dalam memperjuangkan hutang luar negeri dapat kita pelajari. Soekarno misalnya sama sekali menolak hutang warisan pemerintahan Hindia Belanda yang menjadi salah satu keputusan dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag pada 1949, dimana secara tidak adil dibebankan pembayarannya kepada rakyat Indonesia. Uni Soviet dalam tahap awal kemenangan Revolusi Oktober 1917, juga menolak pembayaran hutang luar negeri, mereka baru mau membayar ketika tingkat kesejahteraan rakyat Soviet sudah meningkat. Atau seperti yang belakangan ini ditunjukkan oleh pemerintahan Argentina, dimana mereka menolak untuk membayar hutang luar negeri sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan agar anggaran Negara dapat diprioritaskan untuk membangun perekonoian Argentina. Tak seperti yang dinyatakan oleh para ekonom dan intelektual kakitangan imperialis, yang menakut-nakuti bahwa tuntutan penghapusan hutang akan merusak kredibilitas di mata internasional, dan dapat menyebabkan investasi akan merosot. Argentina justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Salah satu kuncinya adalah dengan mengalihkan dana pembayaran hutang luar negeri menjadi anggaran untuk pembangunan, dan ketika pemerintahan Argentina mengeluarkan Bond—surat hutang Negara—investor internasional tetap berbondong-bondong untuk membelinya. Juga ketika Pemerintah dengan persetujuan parlemen menyatakan, mereka hanya akan membayar 30% dari total nilai hutangnya juga tak mengendurkan niat untuk berinvestasi di Argentina. Dengan metode ini pemerintah Argentina mendapat penghapusan hutang kurang lebih sekitar 72 milyar dollar. Sementara itu Nigeria menempuh metode yang lain, yaitu melobi NGO-NGO di negeri-negeri kreditur untuk mendukung tuntutan penghapusan luar negeri mereka, dan mereka mendapat pemotongan hampir 90% dari total hutang luar negeri sejumlah 25 milyar dollar.

2. Nasionalisasi Industri minyak, gas, dan listrik.

Sumber-sumber energi yang utama di dalam negeri harus dikuasai oleh Negara. Sehingga, hasil sumber daya dan konsumsi energi dalam negeri dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan yang menunjang industri dalam negeri, dan kebutuhan konsumsi energi rakyat. Komersialisasi energi hanyalah dalih untuk menguras sumber daya energi nasional bagi kepentingan segelintir imperialis minyak dan energi asing serta kroninya di dalam negeri. Komersialisasi hanya dapat dilakukan sejauh kebutuhan untuk industri dan konsumsi dalam negeri telah tercukupi, dan komersialisasi itu bukan ditujukan terhadap rakyat sendiri seperti yang selama ini berlangsung. Tanpa nasionalisasi, kebangkrutan industri dan komersialisasi pupuk seperti yang berlangsung selama ini akan terus berlangsung, karena kebutuhan bahan bakunya (gas) tidak sanggup dipenuhi oleh industri gas dalam negeri. Ketidaksanggupan itu dikarenakan praktek komersialisasi yang disebut tadi. Bertambah mahalnya harga BBM dan gas juga akan semakin sering dijadikan dalih bagi PLN untuk menaikan tarif listrik. Situasi ini semakin mendorong percepatan kebangkrutan industri dalam negeri, menciptakan pengangguran massal dan memerosotkan kualitas kesejahteraan rakyat.

Banyak metode bagaimana pemerintahan yang pro rakyat dalam menjalankan politik nasionalisasi ini. Itu semua tergantung pada kesadaran, kehendak, dan perjuangan rakyat Indonesia sendiri. Apakah seperti metode yang ditempuh Soekarno yaitu menasionalisasi perusahaan dari negeri-negeri Imperialis yang paling bermusuhan dengan perjuangan rakyat Indonesia; atau seperti metode yang ditempuh oleh Salvador Allende dalam periode singkat pemerintahannya, yaitu, dibeli dengan pembayaran di belakang hari, atau metode-metode lainnya.

3. Membuka lapangan kerja dengan program industrialisasi nasional. Adalah keliru jika pembukaan lapangan kerja mengandalkan pada investor asing dan swasta dalam negeri. Hal ini terbukti rentan terhadap gejolak ekonomi di tingkat global. Selain itu andalan pada swasta dalam negeri dan investor asing selalu mengorbankan hak-hak buruh sebagai cara untuk menarik investor asing (keunggulan komparatif).

Sumber-sumber ekonomi dan kapital strategis yang dikuasai Negara harus diarahkan untuk mendirikan secara massal industri di dalam negeri. Pemerintah harus membangun, melindungi dan mengembangkan industri-industri dasar seperti baja, permesinan, kelistrikan, industri pertanian, farmasi, automotif, kereta api, perkapalan, telekomunikasi, optik. Tanpa hal ini, tidak masuk akal untuk mengatasi persoalan pengangguran. Kecuali jatuh pada program belas kasihan, populisme seperti BLT, padat karya bersih-bersih jalan dan selokan, yang tidak menguatkan tenaga produktif dalam negeri, bahkan memboroskan anggaran Negara. Dengan semakin banyak orang mendapatkan pekerjaan, maka rata-rata daya beli masyarakat juga turut terdongkrak.

4. Melindungi industri dalam negeri, mengontrol dan mengawasi perdagangan umum dengan luar negeri.

Perdagangan dengan luar negeri dalam bentuk ekspor dapat dilakukan sejauh kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Di luar syarat ini, ekspor harus dikenakan pajak yang tinggi. Sementara mengenai impor dapat dilakukan dalam kerangka menguatkan program industrialiasi nasional. Misalnya mengimpor mesin dan barang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan sebagainya. Hanya dengan perlindungan, dan subsidi dari pemerintah, kebangkrutan massal industri dalam negeri yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini dapat dihentikan, serta seterusnya dicegah. Manfaat lainnya adalah kapasitas produksi dari industri dalam negeri dapat dipulihkan. Berbagai pilihan kebijakan dapat ditempuh program ini. Misalnya seperti kebijakan co-manajement yang ditempuh oleh Pemerintahan Chaves di Venezuela, di mana perusahaan-perusahaan yang bangkrut diberi modal oleh negara. Kemudian manajemen dan pengelolaannya diserahkan kepada kaum buruh diperusahaan yang bersangkutan. Atau dalam jangka pendek, seperti yang dijalankan oleh Presiden Roosevelt pada masa depresi besar tahun 1930-an, yaitu, hasil-hasil produksi perusahaan dalam negeri yang mengalami kesulitan dalam pemasarannya dibeli oleh Negara, dan kemudian oleh Negara dijual kembali. Metode kedua ini dapat memanfaatkan Bulog sebagai instrumennya yaitu dengan memperluas tanggungjawab bulog dari sekedar menstabilkan harga beras menjadi sentral dari distribusi produksi industri dalam negeri namun juga dengan membabat habis korupsi di dalam tubuh Bulog.

5. Pendidikan dan Kesehatan Gratis untuk seluruh rakyat.

Pendidikan gratis ini mencakup segala jenjang pendidikan. Program penggratisan pendidikan hingga SMP oleh Pemerintahan SBY-Kalla terbukti bohong dan tidak mengatasi persoalan. Faktanya sebagian besar TK, SD, dan SMP masih memungut biaya dari murid, dan program pendidikan gratis ini tidak mencakup keseluruhan biaya pendidikan (transportasi, buku-buku, asrama dan sebagainya). Selain itu lulusan SMP juga tidak memadai untuk terserap oleh lapangan industri dan tidak mampu menjadi dasar capital social yang kuat yang dapat menunjang program industrialisasi nasional. Sementara itu prioritas dari program pendidikan gratis ini harus sejalan dengan kebutuhan untuk menguatkan program Industrialisasi nasional, yaitu memprioritaskan pendidikan dalam bidang teknik, pertanian, geologi, farmasi, juga bidang kedokteran. Demikian juga jalur-jalur pendidikan non formal atau kursus-kursus ketrampilan yang juga harus difasilitasi oleh Negara tekanan prioritasnya mengabdi pada kepentingan program industrialisasi nasional. Program demikian juga yang sedanag dijalankan oleh pemerintahan rogressif Chaves di Venezuela melalui program-program Mission Ribas, Mission Sucre dan sebagainya. Sebagai subyek penyangga, kualitas guru atau pengajar juga terus ditingkatkan, sekaligus negara menjamin taraf kesejahteraan mereka. Demikian juga dengan program kesehatan gratis, semua golongan harus digratiskan dari biaya rawat inap, konsultasi dan jasa dokter atau medis, dan obat-obatannya. Program belas kasihan dengan dalih menggratiskan untuk yang miskin saja hanyalah menciptakan sumber penyelewengan dan korupsi baru. Di tengah standarisasi ukuran kemiskinan yang beraneka ragam dan sarat kepentingan politis adalah jauh lebih sulit menghitung jumlah orang miskin ketimbang orang kaya.

Propaganda dari intelektual dan birokrat antek-antek imperialis yang menyatakan bahwa subsidi harus tepat sasaran adalah pura-pura tidak tahu persoalan dan menipu rakyat. Ada seribu macam instrument kebijakan yang dapat digunakan untuk menarik kembali subsidi yang jatuh pada golongan yang dinyatakan orang kaya ketimbang muluk-muluk menyatakan bahwa subsidi hanya untuk orang miskin—yang standar kemiskinannya telah direndahkan sedemikian rupa. Sehingga yang terjadi adalah orang miskin justru dijadikan industri dan komoditi oleh segelintir kaum pemodal dan birokrat korup untuk berbagai macam program belas kasihan: BLT/SLT Bantuan Langsung Tunai/Subsidi Langsung Tunai), minyak tanah bersubsidi, solar bersubsidi, beras miskin/raskin, dsb. Di setiap kecamatan minimal harus ada satu poliklinik, dan disetiap desa/kelirahan minimal terdapat satu puskesmas. Memassalkan, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menggratiskannya adalah syarat bagi peningkatan human capital yang mutlak diperlukan oleh program industrialisasi nasional.

6. Upah Minimum Nasional sesuai KHL Untuk Kaum Buruh. Penghitungan standar Kebutuhan Hidup layak (KHL) berdasarkan rata-rata standar KHL 9 kota industri utama. Kota industri utama yang dimaksud adalah: Jakarta, Tangerang, Medan, Batam, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Balikapapan.

Penghitungannya dilakukan oleh Dewan Pengupahan yang merupakan lembaga Tripartit. Selain untuk meningkatkan tingkat upah yang layak dan kesejahteraan bagi kaum buruh juga bertujuan agar kesenjangan perkembangan industri, kesenjangan pendapatan, kesenjangan desa dan kota, kesenjangan konsentrasi capital, kesenjangan konsentrasi penduduk dapat dikurangi. Sehingga tenaga kerja di pedesaan atau kota-kota kecil tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota-kota besar tertentu untuk mendapatkan pekerjaan, dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Tentu saja ketentuan ini hanya berlaku bagi perusahaan swasta atau BUMN yang mampu, bagi yang belum mampu tingkat kenaikannya ditentukan oleh Dewan Pengupahan-Dewan Pengupahan setempat. Sebaliknya bagi perusahaan yang berkemampuan memberi upah lebih tinggi dari upah minimum nasional juga diwajibkan oleh Dewan Pengupahan setempat untuk memberikannya.

7. Menurunkan harga sarana produksi pertanian, perlindungan terhadap hasil-hasil pertanian dalam negeri, dan penyelesaian sengketa Agraria dengan mengutamakan keadilan dan kesejahteraan untuk kaum tani. Sarana produksi yang dimaksud terutama pupuk dan mesin-mesin pertanian (traktor, mesin giling, mesin perontok, mesin pengering). Agar harga pupuk dapat ditekan maka mutlak diperlukan program nasionalisasi industri gas, minyak, dan listrik sehingga harganya dapat ditekan. Penutupan pabrik-pabrik pupuk karena kekurangan pasokan gas seperti yang selama ini terjadi adalah akibat pemerintah dari zaman orde baru hingga SBY-Kalla telah menjadi kacung dari kaum imperialis yang menguasai industri gas. Kenyataan ditutupnya pabrik-pabrik pupuk oleh karena kekurangan gasselayaknya menjadi vonis mati Pemerintahan SBY-Kalla dihadapan kaum tani. Negara juga harus memfasilitasi, mengembangkan, dan memajukan industri mesin-mesin pertanian, dan juga industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Dalam masa transisi, dimana dibutuhkan proses untuk menuju kemampuan dalam negeri dalam memproduksi mesin-mesin bagi industri pertanian diperbolehkan melakukan impor mesin-mesin bagi industri pertanian. Teknologisasi ini tidak akan menghasilkan pengangguran baru (yang keluar dari sektor pertanian) melainkan justru menyerap tenaga kerja ke dalam sektor industri pertanian yang dibangun.

Penyelesaian konflik atau sengketa agraria juga menjadi agenda yang bersifat mendesak. Kaum tani telah ditindas secara fisik dalam mempertahankan hak-hak atas tanahnya selama puluhan tahun, sejak berdirinya kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Dalam kurun waktu kurang lebih selama 30 tahun, sejak 1970 hingga 2001, terjadi 1.753 kasus sengketa tanah. Dari keseluruhan sengketa tersebut, 19.6% terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar. 13.9% dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 13.2% akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 8.0% merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 6.6% merupakan sengketa akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 4.4% sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 4.2% adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Dalam sengketa-sengketa dan konflik itu tidak kurang dari 1.090.868 rumah tangga telah menjadi korban langsung, dan meliputi tidak kurang dari 10.5 juta hektar lahan yang disengketakan. Prinsip dalam penyelesaian sengketa agrarian adalah mengembalikan kepada kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah disertai ganti rugi jika tanah tersebut belum berubah menjadi kapital yang produktif. Jika tanah tersebut sudah menjadi kapital yang lebih produktif, pengelolaannya diserahkan kepada kaum tani yang menjadi korban dengan membentuk Dewan Tani, dan atau memberikan ganti untung–dan bukan ganti rugi—jika yang kaum tani yang bersangkutan menghendakinya. Tanah-tanah negara dan swasta yang tidak dikelola secara produktif didistribusikan kepada kaum tani dan pengelolaannya diserahkan kepada Dewan Tani – Dewan Tani setempat.

8. Nasionalisasi Industri Perbankan dalam negeri.

Proses privatisasi terhadap berbagai bank dalam negeri harus ditinjau ulang. Karena hanya menguntungkan bankir-bankir imperialis seperti Temasek, Farallon, sebab turut serta di dalam bank-bank yang dijual itu ratusan triliun dana obligasi rekapitalisasi perbankan yang setiap tahunnya membebani ABPN puluhan triliun. Dan subsidi ini dinikmati oleh bankir-bankir imperialis seperti Temasek dan Farallon. Kepemilikan asing terhadap bank-bank di dalam negeri harus dibatasi karena dapat merugikan perekonomian nasional. Penguasaan bank adalah jalan tol bagi kaum imperialis untuk menguasai sector-sektor ekonomi penting lainnya. Penguasaan bank dalam negeri oleh asing terbukti menyulitkan dalam menjalankan peranan nasional dari perbankan untuk mendukung proses industrialiasi nasional. Kredit-kredit hanya diarahkan untuk sector konsumsi, dimana barang-barang konsumsi yang diperdagangkan juga produk dari negeri-negeri imperialis sendiri. Bank asing hanya boleh beroperasi sebagai cabang dari bank-bank di negeri induknya dengan membatasi operasionalnya.

9. Penyelamatan asset-aset nasional dari program privatisasi BUMN dan liberalisasi aset-aset ekonomi strategis lainnya (air, migas, listrik, rumah sakit, universitas dan sebagainya) dari Pemerintahan SBY-Kalla.

Program ini terbukti merugikan adanya. Apalagi tak seperti yang digembargemborkan para penganjur privatisasi bahwa selama ini BUMN membebani Negara, ternyata BUMN-BUMN yang dijual adalah BUMN-BUMN yang justru mendapat laba usaha yang besar. Selain itu privatisasi juga menjauhkan akses rakyat terhadap barang-barang kebutuhan dan jasa yang pokok karena setelah diprivatisasi pemilik modalnya, yang kebanyakan asing demi mengeruk laba yang sebesar-besarnya terus menaikan harga jual produknya.

10. Bubarkan Komando Teritorial TNI. Lembaga Koter ini selama ini, apalagi pada masa Orde Baru terbukti telah menjadi mesin penghancur demokrasi. Tak terbilang korban-korbannya. Mempertahankan lembaga Koter sama artinya meletakan bom waktu bagi demokrasi, dan pemborosan yang luar biasa dari APBN apapun dalihnya. Mau dalihnya untuk pemberantasan terorisme, menjaga stabilitas, membasmi kekuatan ekstrim kiri dan ekstrim kanan dan ekstrim-ekstrim lainnya, Koter terbukti merusak demokrasi karena wataknya yang ekstra yudisial dan latar belakang masih dominannya jenderal-jenderal TNI yang gemar berpolitik.

Koter juga merupakan sumber pemborosan anggaran Negara yang luar biasa besar, bisa dibayangkan berapa besar anggara negara harus membiayai biaya operasional sekian puluh ribu Babinsa yang ada disetiap kelurahan di Indonesia, sekian Koramil yang ada disetiap kecamatan, sekian ratus Kodim disetiap Kabupaten, Korem, di Karesidenan, dan Kodam-kodam dihampir setiap propinsi diseluruh Indonesia. Di bawah pemerintahan SBY-Kalla jumlah Komando Teritorial justru semakin bertambah. Front Persatuan Nasional adalah kekuatan rakyat yang akan menjadi pembela garda depan terhadap hak-hak demokratik rakyat.

Seluruh bentuk diskriminasi politik oleh karena perbedaan ideologi, gender, keyakinan agama, etnis, orientasi seksual adalah musuh daripada Front Persatuan Nasional.

BAB V
PRINSIP-PRINSIP FRONT PERSATUAN KITA

Keberhasilan kekuatan politik alternatif baru (Front Persatuan) mendesakkan program-program tersebut di atas tentu saja harus berlandaskan terpenuhinya syarat perluasan kampanye maupun struktur front. Akan sangat susah bagi kita untuk meluaskan kampanye (propaganda) tanpa adanya suatu organisasi yang bisa bergerak secara luwes (dalam berbagai situasi) serta memiliki struktur/perangkat-perangkat yang memungkinkan untuk itu. Karenanya, front persatuan nasional, haruslah menjadi wadah yang mampu mengakomodir kekuatan organisasi-organisasi ataupun individu yang sepakat dengan program-program perjuangan, bersedia untuk berjuang bersama, dan berkomitmen menjalankan aktivitas-aktivitas dari front persatuan nasional. Sebenarnya, beberapa tahun terakhir, berbagai organisasi dan individu telah mencoba secara berulang kali melakukan kerjasama politik berbasiskan momentum. Contohnya adalah Koalisi Nasional, ARB, ARM, Perisai, dll. Namun sebagaimana juga terjadi sebelumnya, gerakan rakyat non-parlementarian seperti terjebak melakukan eksperimen sama dengan hasil sama pula; hanya bergerak berdasarkan momentum politik, dan ‘bubar’ tidak lama sesudahnya.

Karena itu organisasi Front kita ke depan sejatinya adalah wadah persatuan massa yang bersifat strategis dan terbuka: strategis dalam makna perjuangannya berdasarkan platform politik (sebagai cerminan penyelesaian problem mendesak yang dialami rakyat Indonesia), berkomiten merebut setiap peluang kekuasaan untuk diabdikan pada perjuangan rakyat, terbuka bagi seluruh organisasi dan seluruh individu yang anti imperialisme dan demokratik, dalam pengertian menerima siapa saja yang menerima platform Front, dan siap menjalankannya secara aktif. Kita menghargai inisiatif organisasi/individu pendiri dalam kapasitasnya sebagai perintis/pelopor. Namun, penghargaan yang utama ada pada semua kekuatan (organisasi ataupun individu) yang secara serius menerima program sejak dari pikiran dan aktif menjalankannya dalam praktek. Tanpa memahami prinsip ini, akan sangat sulit membayangkan perluasan dan penguatan organisasi kita. Tanpa memahami prinsip ini pula, organisasi front persatuan tidak akan menjadi satu kekuatan riil. Ia hanya akan menjadi gagasan indah di tengah suramnya situasi yang dihadapi masyarakat kita.

BAB VI
TUGAS-TUGAS MENDESAK KITA:
SECEPAT-CEPATNYA MENDIRIKAN, SECEPAT-CEPATNYA BERTINDAK!

Sesudah masa euphoria penuh spontanitas yang berlangsung pasca kejatuhan Suharto, saat ini telah muncul unsur-unsur baru yang berpikiran dan bertindak maju dalam perjuangannya. Jika pada masa-masa awal pasca jatuhnya rejim Suharto, hanya beberapa organisasi yang secara konsisten mempelopori program oposisi anti rejim neo-liberalis dan secara serius mengkampanyekan kebutuhan tatanan pemerintahan baru, saat ini perspektif tersebut mulai meluas ke lapisan massa rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya berbagai organisasi sektoral ataupun multisektoral, (bahkan embrio Partai Politik baru), misalnya AGRA/FMN, PRP, sayap politik Walhi, PPR dan lain-lain. Walau harus diakui, di tengah ilusi kebebasan politik ala demokrasi borjuis, kekuatan-kekuatan alternatif yang mencita-citakan ‘Indonesia Baru” belum sepenuhnya mengambil peran signifikan dalam menekan/menggolkan agenda-agenda alternatifnya. Terutama, hal ini dapat dilihat dari semakin merajalelanya agenda-agenda neo-liberal yang diterapkan pemerintahan SBY-Kalla.

Partai Rakyat Demokratik, mengusulkan, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan gerakan demokratik-kerakyatan, dan memajukan aspek positif yang telah dicapainya, secepat-cepatnya, berbagai organisasi/individu sepemikiran dengan program usulan di atas dapat menyatukan diri dalam suatu Front Persatuan. Beberapa organisasi inisiator ataupun individu pendukung, harus segera merapatkan diri dan menjadi semacam Komite Persiapan yang akan mempersiapkan segala sesuatunya, dari mulai sosialisasi secara public, menawarkan ke berbagai organisasi, partai, dan individu yang berpotensi untuk diajak bergabung, hingga pekerjaan-pekerjaan teknis untuk mempersiapkan kongres dari Front Persatuan Nasional. Secara teknis, unsur-unsur yang bergabung di daerah, harus diberi keleluasaan (demokratik tapi cepat) bagi pendirian-pendirian Komite Persiapan serupa di seluruh wilayah, kota, kecamatan, hingga kelurahan-kelurahan/desa-desa. Hal ini terutama untuk mengatasi berbagai kelemahan dari aliansi/komite bersama yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, yakni efektivitas mekanisme internal antara daerah-pusat atau sebaliknya (Walau aneh, seringkali terjadi dimana kesepakatan-kesepakatan di Pusat belum tentu mengikat cabang-cabang). Dalam pandangan kami, Komite Persiapan Pendirian Partai Front ini benar-benar bertindak hanya sebagai Komite Persiapan (teknis) belaka, yakni dengan tugas pokok perluasan organisasi. Secara de jure dan de facto, Komite Persiapan akan bubar setelah Kongres dilangsungkan.

Secara singkat, adapun gambaran tahap-tahap pembangunan Front Persatuan yang kami usulkan adalah sebagai berikut:

a. Pembentukan Panitia Nasional oleh Ormas-Ormas, Parpol dan Individu Pelaksananya adalah individu-individu/organisasi inisiator. Dalam tahap awal Ormas/Parpol/Individu akan mendiskusikan dan memastikan kesamaan pandangan tentang kebutuhan Front Persatuan beserta Platform Politik atau Program Mendesaknya. Seluruh kesepakatan ini akan dituangkan dalam satu Memorandum of Understanding (MoU).

b. Pendirian Komite-Komite Persiapan Ormas ataupun Parpol setingkat nasional yang telah menandatangani Memorandum of Undestanding (MoU) selanjutnya segera mendirikan sebuah Komite Persiapan Pendirian Partai Front). Masing-masing organisasi inisiator merintis pendirian Komite Persiapan di cabangnya masing-masing dengan melakukan konferensi2 gerakan demokratik dan kerakyatan. Tujuan Konferensi ini adalah untuk merekrut kekuatan-kekuatan lain di luar yang sudah terlibat dalam pendirian Komite Persiapan.

c. Deklarasi Komite Persiapan: 23 Juli 2006. Deklarasi bisa berlangsung serentak di Jakarta/Nasional sekaligus daerah-daerah ataupun sendiri-sendiri berdasarkan tingkat kemajuan front di masing-masing daerah tersebut. Sejauh telah memenuhi struktur minimal yang telah ditentukan, Komite Persiapan harus segera dideklarasikan.

Tujuannya adalah paling tidak untuk mengkampanyekan ke hadapan massa luas tentang berdirinya embrio Partai Front kerakyatan. Tujuan maksimalnya adalah sebagai ajang pengujian stuktur mobilisasi.

d. Kongres I: November-Desember 2006. Target utama dari Kongres I adalah konsolidasi untuk pembenahan struktur setingkat nasional. Persoalan platform politik sendiri harus telah dianggap selesai ketika Komite Persiapan dideklarasikan. Penjelasannya adalah: pertama, bahwa pada dasarnya pendirian komite-komite persiapan baik di tingkat nasional ataupun daerah diawali dengan kesepakatan pandangan tentang problem masyarakat Indonesia terkini, dan solusi mengatasinya. Hal tersebut telah dituangkan dalam satu nota kesepakatan bersama. Kedua, bahwa pada dasarnya perluasan Partai Front pasca kesepakatan bersama sebenarnya merupakan bentuk penerimaan massa rakyat non pendiri atas program-program Partai.

Hal-hal lainnya dapat juga diajukan, misalnya proposal tentang bentuk ataupun struktur organisasi (termasuk soal posisi organisasi/individu inisiator).

BAB VII
PENUTUP

Dalam situasi rakyat yang saat ini tidak memiliki alat politik alternatif, penyatuan berbagai organisasi demokratik-kerakyatan dan progresif tentunya akan memberikan harapan baru. Kebuntuan politik liberal yang tidak mampu menyelesaikan persoalan pokok masyarakat kita sekarang ini memang harus segera dihentikan dengan jalan politik demokratik-kerakyatan; dalam segala lapangan politik, baik itu parlementer ataupun non-parlementer. Kelambanan dan kegagalan kekuatan oposisi dalam memenuhinya tentu akan menyeret dan menjerumuskan rakyat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Yang lebih fatal tentu saja jurang apatisme politik. Karena itu, menyatukan kekuatan untuk suatu ‘reformasi total’ yang baru, bagi kami, mutlak merupakan kewajiban historis Partai. Sehingga, tidak salah kalau kami menekankan pekerjaan ini sebagai satu aspek utama dari kerja aliansi ini ke depan.




Baca selengkapnya!

30.5.06

Ikatan Baru Pasca Keterpisahan yang Usang

--Tanggapan untuk Proposal Konperensi Persatuan Gerakan Rakyat

Saiful Haq

Perdebatan tentang kebutuhan dibentuknya sebuah front politik sebenarnya bukan hal baru. Beberapa konsep serupa sudah pernah diinisiasi kawan-kawan yang lain seperti unifikasi yang melahirkan PRP, front yang membidani lahirnya PPR, kerja-kerja sektor sayap politik Walhi, serta pertemuan yang difasilitasi Yapika beberapa waktu silam. Semuanya berbicara tentang kemungkinan adanya ikatan bersama. Dalam hal ikatan ini, saya ingin mengutip apa yang pernah ditulis oleh Almarhum Munir “sekaranglah saatnya orang membangun ritme yang baru, dan kita akan berdiskusi tentang ikatan-ikatan yang baru, meskipun harus diawali dengan keterpisahan-keterpisahan, yang bukan hanya sekedar wilayah tapi juga rasa”.

Sudah saatnya memang kita menimba pengalaman dari keterpisahan-keterpisahan kita di masa lalu, belajar dari kemalu-malu kucingan kita berpolitik, belajar dari keterpurukan demi keterpurukan yang bukan tidak mungkin kita ciptakan sendiri. Bukanlah sebuah kerinduan berlebihan jika saya mengatakan, sudah saatnya peristiwa kegagalan demi kegagalan harus kita tebus dengan bersungguh-bersungguh menyusun ritme baru yang menjanjikan kemenangan bersama.

Hadirnya proposal yang diinisisasi kawan-kawan ini menurut saya, adalah awal yang baik untuk memulai membangun ikatan-ikatan baru yang dimaksud Almarhum Munir. Sudah saatnya kita belajar dari keberhasilan MST di Brazil, EZLN di Mexico, FOIN di Ekuador, NBA di India, AOP di Thailand dan Akbayan di Philipina. Telah banyak referensi tempat kita berkaca: dari kasus 27 Juli 1996, SMID hingga PRD, berbagai kasus agraria dan lingkungan, kasus Marsinah, penghilangan paksa hingga pembunuhan Munir. Sekaranglah waktunya berkata: Cukup Sudah!!

Pada setiap perubahan yang terjadi di negeri ini, kita sekadar jadi penonton kesepian yang lesu darah dari tepi lapangan. Soalnya bukan hanya kita tak lagi keras berteriak tapi, juga telah kehabisan kata-kata. Semua sudah kita bicarakan, hasilnya yang tak kunjung tiba. Cita-cita keadilan luhur yang kita anut hanya sejauh kolom-kolom di surat kabar, pamflet dan poster-poster yang ketika musim hujan tiba memudar dan hilang entah kemana.

Kita semua tahu, setiap perubahan akan melahirkan kegelisahan baru. Menguatnya rezim Militer–Borjuasi SBY-Kalla, melemahnya tekanan dari para politisi di Senayan, menguatnya kelompok kanan dengan isu-isu anti demokrasi, kian menambah besar kegelisahan kita. Kegelisahan itu semakin menguat ketika pikiran kita dihadapkan pada pilihan tentang apa yang ingin kita kerjakan di satu sisi, dengan ketersediaan energi politik yang kita miliki untuk mengerjakan semua yang kita inginkan, di sisi lain.

Saling mencurigai, saling intrik dan perpecahan tak berkesudahan, menjadi wajah terluar dari kegelisahan itu. Harapan terbaiknya, pasca kegelisahan itu akan muncul sebuah harapan dan refleksi bersama, refleksi yang lahir dari kesadaran bahwa di setiap helaan nafas ternyata bayangan kekuatan status quo selalu mengancam. Kelelahan terhadap kebuntuan gerakan non partisan membawa angin refleksi itu semakin menguat. Saya berharap Proposal ini adalah bentuk dari kebutuhan refleksi tersebut. Sebab menurut saya, mencairkan kegelisahan-kegelisahan yang ada menjadi sangat penting, dimana kepercayaan dan persatuan menjadi prasyarat dimulainya suatu ikatan baru yang saya yakin kita semua sedang menunggunya.

Pertanyaan berikutnya, pasca mencairnya kegelisahan-kegelisahan itu, seberapa besar energi yang kita punya? Mampukah energi itu mengalahkan energi politik kalangan militer, pengusaha, dan agen-agen modal internasional? Menurut saya, satu hal yang perlu ditekankan, bagaimanapun politik adalah pertarungan kekuatan. Kekuatan politik adalah kekuatan mobilisasi massa, sebab di era demokrasi kemenangan dihitung di atas kertas-kertas suara dan tekanan-tekanan massa yang sadar. Menyitir Tsun Tzu, memilih kapan waktu peperangan yang sesungguhnya dimulai adalah hal yang penting dalam strategi memenangkan pertarungan. Berkaitan dengannya, saya ingin mengatakan bahwa saya setuju jika pertemuan itu harus diarahkan kepada terbetuknya Front Polititk yang berwatak Partisan dengan memperhatikan hal berikut: pertama, jika kita belum yakin bisa memenangkan pertarungan di pemilu 2009, sebaiknya Front Politik ini diarahkan pada watak oposisi yang massif sebagaimana Hizbut Tahrir Indonesia membangun gerakannya, sehingga momentum 2009 jangan langsung dipakai untuk bertarung tapi lebih digunakan sebagai momentum konsolidasi front; kedua, jika kita yakin dapat menang atau paling tidak masuk lima besar di Pemilu 2009, saya mengusulkan untuk membuat mekanisme partai dimana setiap orang punya akses kontrol maupun partisipasi yang dijamin oleh partai, sehingga siapapun yang duduk nantinya tetap memiliki legitimasi sekaligus mekanisme pertanggungjawaban pada konstituen massa.

Dalam membangun Front Politik tersebut, meminjam istilah Yuang Wang dkk. tentang strategi enam P di Cina, mungkin hal ini juga berguna untuk menyusun kekuatan, peran dan posisi kita ke depan. Enam “P” yang dimaksud adalah Patience (kesabaran); dalam mengamati perubahan yang terjadi diperlukan kesabaran dan ketenangan, analisa kondisi yang obyektif serta membuat keputusan yang tepat, kesabaran dalam mengorganisir, sabar dalam usaha menjahit kembali benang-benang persatuan antara para pendukung gerakan rakyat, kesabaran dalam melakukan pendidikan serta kerja-kerja front, serta bersabar untuk selalu hadir dalam setiap momentum nasional, bukan hanya dalam momentum politik tapi juga bencana dan setiap momentum dimana massa sedang membutuhkan kehadiran kita. Power (kekuatan); membina kekuatan bukan hanya dalam artian jumlah massa tapi kesadaran dan berbagai parameter kualitatif yang lain, termasuk faktor kesejahteraan konstituen massa juga menjadi sebuah tanggungjawab utama bagi kita. Konsolidasi dan pembangunan kapasitas harus menjadi target menuju pengerahan kekuatan yang sesungguhnya, memenangkan setiap momentum kecil akan membawa kita pada keyakinan untuk memenangkan pertarungan yang lebih besar. Predispotition (mengetahui posisi kita); dalam hal ini harus mengenal betul satu persatu aktor dan gejala yang sedang bermain di tengah perubahan ini. Dengan posisi yang tepat akan membawa kita sebagai pihak yang diuntungkan oleh perubahan. Dalam hal ini kerja-kerja para intelektual harus benar-benar bersinergi dengan kekuatan di basis massa sehingga dapat melahirkan sebuah analisa situasi politik yang lengkap disertai kemungkinan perlakuan dan posisi yang berbeda di setiap daerah. Personnel (sumber daya manusia); hal ini tentu saja selalu berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Selain itu kapasitas individu juga sangat menentukan kapasitas organisasi, demikian juga faktor kepemimpinan dalam organisasi menjadi salah satu faktor startegis dalam mengawal agenda-agenda capaciity building. Protection; strategi gerakan yang efektif dan terbuka akan membawa rasa aman bagi siapa saja yang ikut bergabung ataupun yang belum bergabung dalam front yang sedang dibangun. Partai Keadilan dalam mengawali gerakannya selalu menampakkan wajahnya yang teduh dan melindungi, mereka selalu hadir di setiap tragedi nasional maupun yang skalanya lebih kecil, setiap aksinya massif namun tidak memacetkan jalan dan menyisakan sampah, tak lupa pula mereka sebarkan selebaran permohonan maaf atas aksi yang kemungkinan mengganggu pemakai jalan. Menurut saya, hal ini adalah salah satu cara kampanye yang efektif dan juga tidak terkesan lips service tapi, konkrit dan mengayomi sekaligus menjawab persoalan keseharian rakyat. Yang terakhir adalah perspective (perspektif); kita butuh tujuan politik yang jelas (clear political aim) untuk mampu bergerak lebih maju. Dalam hal ini konsep, program atau blue print kita tentang ekonomi, politik, hubungan luar negeri, kemiskinan, pertahanan, penegakan hukum, korupsi serta masalah lainnya harus disiapkan dan dibuka seluas-luasnya pada masyarakat. Program-program ini nantinya menjadi basis bagi kontrak sosial front politik ini, tidak hanya pada anggota front tapi, pada seluruh rakyat Indonesia.

Memang tidak mudah untuk mulai merangkai kembali serpihan-serpihan keterpisahan itu. Kita juga butuh energi baru yang bukan merupakan bagian dari keterpisahan masa lalu, orang-orang yang tidak punya kaitan dengan keretakan politik usang tapi punya komitmen untuk memulai sesuatu yang lebih baik. Sejarah kejayaan tidaklah jatuh dari langit, tidak juga karena peristiwa besar yang dilakukan oleh orang berjiwa kerdil. Sejarah kejayaan hanya datang dari rangkaian peristiwa-peristiwa kecil yang dilakukan oleh orang-orang berjiwa besar. Redaksi Indoporgress saya kira juga sudah memulai membidani peristiwa-peristiwa kecil tersebut, sebagaimana pepatah Jerman yang sering dikutip Bung Sjahrir “hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah bisa dimenangkan”. Saya tetap yakin, kita semua menunggu dan sedang bekerja untuk memulai ikatan-ikatan baru setelah keterpisahan yang bukan hanya usang tapi juga melelahkan.***

Saiful Haq, Mahasiswa Pasca Sarjana Studi Pertahanan, ITB.





Baca selengkapnya!

3.5.06

Beberapa Gagasan Tentang Persatuan Gerakan

Wilson

Ketika bertemu dengan Joel Rocamora beberapa tahun lalu, mantan pimpinan Akbayan dari Filipina, dengan bergurau mengatakan, "gerakan kiri di Filipina suatu saat akan sebesar amuba, sehingga butuh mikroskop untuk melihatnya." Perumpamaan ini merupakan ekspresi dari kegalauannya melihat fragmentasi di kalangan gerakan kiri Filipina, sehingga transisi demokrasi yang mereka pimpin dimasa awal penggulingan Marcos pada 1986, kini hanya mereka nikmati dari pinggiran arena politik.

Untunglah ketika bertemu kembali akhir tahun lalu di Praxis, guruaun itu sudah berlalu. Joel dengan bangga menceritakan keberhasilan Akbayan 'menyatukan' berbagai blok kiri di Filipina dan para aktivis 'kaum independen.' Bahkan Akbayan berhasil merebut posisi 50 walikota di Filipina dan mulai menjalankan suatu perencanaan partisipatoris dalam pembangunan di tiap distrik yang dikuasai Akbayan. Proyek ini terinspirasi dari model sukses anggaran partisipatoris di Porto Alegre, Brazil, yang dimotori oleh Partai Buruh Brazil.

Di Indonesia, delapan tahun proses transisi demokrasi seperti mengulang kisah lama di Filipina. Fragmentasi di dalam maupun di antara berbagai gerakan kiri sudah merupakan kenyataan. Namun di luar itu, di lingkungan gerakan sosial yang ada, khususnya di perburuhan dan gerakan tani (terutama di wilayah seperti Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah), justru mengalami kemajuan secara kuantitatif dan kualitatif. Proses regrouping juga terjadi di dalam gerakan, seperti yang terjadi dalam pembentukan PRP, KASBI, PI dan PPR .

Kemajuan-kemajuan juga tampak nyata dari kemunculan blok-blok politik kiri yang baru, di luar lingkaran tradisi 'kiri' PRD yang lebih awal muncul. Blok-blok kiri ini bermunculan dalam berbagai gerakan sosial sektoral tradisional, seperti serikat buruh, serikat mahasiswa, serikat tani, serikat kaum miskin kota, gerakan budaya maupun gerakan-gerakan sosial baru seperti lingkungan, masyarakat adat , feminisme, gerakan korban pelanggaran ham, gerakan kaum gay dan agama pembebasan. Belum lagi, jika ditambahkan dengan alumnus gerakan kiri yang bertebaran sebagai 'kaum independen' dan memegang posisi penting di LSM, jurnalisme, sastrawan, kampus dan lembaga kajian, pembuat film, programer radio, asosiasi pengacara kerakyatan, bahkan menjadi wiraswasta.

Beberapa mantan aktivis gerakan kiri juga masuk ke dalam partai-partai mainstream yang ada seperti, PDIP, PAN, PKB, bahkan yang paling baru ke dalam Partai Bintang Reformasi (PBR). Beberapa jaringan gerakan rakyat progresif di beberapa kota, juga telah mengonsolidasikan dirinya ke dalam Partai Pergerakan Rakyat (PPR).

Seluruh penggambaran di atas menunjukkan, orang-orang kiri, baik yang bernaung di bawah payung sebuah organisasi kiri yang lebih ideologis, terlibat dalam gerakan sosial, maupun yang bertebaran 'sebagai kaum independen,' merupakan basis material yang nyata, yang di depan mata kita, yang sebetulnya memberikan harapan baru, bahwa kaum kiri itu sebenarnya tidak semakin mengkerut, tapi semakin tersebar dan masuk ke berbagai 'lini' baik dengan motif 'ideologis' ataupun dalam kerangka mengembangkan profesionalisme dan karir.

Pertanyaanya, dengan sedemikian banyak dan tersebarnya 'potensi-potensi' kemajuan gerakan yang ada, bagaimana cara mengikat semua 'bintang-bintang merah yang bertebaran tersebut' menjadi suatu energi dan sinergi gerakan yang meluas, partisipatoris, inklusif, pluralis tapi tetap pada garis komitmen kerakyatan, keadilan sosial dan demokrasi sejati?

Tentu saja kemudian kita akan bicara soal organisasi perjuangan macam apa yang cocok ditahap awal untuk dapat mengakomodasi demikian banyak blok, individu dan 'tendensi ideologi kiri ' yang sudah ada tersebut. Saya sendiri berpikir, konsep sebuah organsisi dengan ideologi monolit yang 'formal' seperti organisasi kiri tipe lama, sudah saatnya mulai kita tanggalkan. Organisasi 'kiri tipe baru' yang saya bayangkan adalah sebuah 'koalisi luas' berbentuk PARTAI, tapi dengan otonomi luas kepada setiap blok politik yang terlibat di dalamnya. Jadi, setiap gerakan sosial, individu dan blok politik yang terlibat di dalamnya, tidak perlu kuatir, partai yang mereka bentuk akan membatasi, mengamputasi, mengurangi atau akan mengeliminir apa yang sedang mereka kerjakan.

Dengan otonomi luas yang tetap diberikan maka level pimpinan di tingkat pusat partai hanyalah 'mandataris' dari berbagai komponen yang ada. Mandataris ini hanya mempunyai wewenang dalam lingkup 'kepemimpinan ideologis dan politik,' tapi tidak dapat melakukan intervensi pada level organisasi yang mendukung partai, kecuali pada 'common platform' yang telah disepakati menjadi 'progam bersama' atau 'strategi bersama' oleh 'koalisis luas' yang mendukung partai ini.

Titik temu atau 'common platform' dari semua 'blok'; atau komponen di dalam partai tersebut adalah pada 'strategi/proyek politik bersama' dalam pertarungan elektoral dan memenangkan program 'anggaran partisipatoris' dengan berbasis pada perebutan kekuasaan politik distrik/kabupaten/walikota dengan memanfaatkan sistem pemilu langsung. Pada level 'common platform,' saya mengusulkan program-program yang lebih menitikberatkan pada 'platform sosial-ekonomis' yang merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat seperti kesehatan, pendidikan, pengupahan, perumahan untuk rakyat miskin, tanah untuk penggarap dll.

Pada level 'common strategy' saya mengusulkan agar partai ini mengambil peranan, responsif dan terlibat dalam politik elektoral yang berlangsung atau akan berlangsung. Bila partai yang isinya adalah 'koalisi kerakyatan' ini memang disepakati, maka momentum elektoral 2009 adalah sasaran yang harus dicapai dan direspon. Karena itu strategi elektoral ini harus melibatkan semua komponen yang mendukung pembentukan partai sebagai 'PEKERJAAN POLITIK BERSAMA"

Pada level " programatik' saya mengusulkan dibuat sebuah 'PROGRAM ALTERNATIF' yang menunjukkan perbedan antara 'KITA' dengan partai mainstream yang ada. Program alternatif yang saya bayangkan adalah semacam proyek "Anggaran Partisipatoris" semacam di Porto Alegre yang disesuaikan dengan kondisi obyektif dan subyektif di Indonesia.

Catatan perlu saya berikan untuk gagasan menfasilitasi 'kaum independen' ini. Kaum independen yang saya maksud adalah para aktivis yang dulunya anggota, pendukung, simpatisan gerakan rakyat/gerakan progresif/gerakan kiri, tapi kemudian karena tuntutan profesional atau karena merasa 'tidak cocok' dengan berbagai organisasi yang ada lantas lebih menyibukkan dirinya pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, yang juga strategis. Kaum independen ini muak melihat rejim yang korup. kemiskinan yang semakin luas, pelanggaran HAM yang meluas dan ketidakbecusan yang terjadi dalam parlemen serta parpol mainstream. Kemuakan ini sayangnya tidak terfasilitasi, karena mereka melihat tidak ada 'gerakan politik alternatif' yang potensial. Gagasan pembentukan Pergerakan Indonesia (PI) sebetulnya sudah mirip dengan ide saya ini. tapi setelah 'komandan-nya' Budiman pergi, juga Martin, JEK dan Reza saya melihat PI kok agak menurun semangatnya. (Gimana ini Martin lu tanggung jawab juga nekh, jangan involutif gitu dong !)

Banyak kaum independen ini bekerja di lingkungan jurnalistik, menjadi akademisi, aktif di lembaga kajian/riset, menjadi sastrawan/seniman, pembuat film, aktif di LSM, menjadi pengacara dll., tetapi, masih mempunyai komitmen dan rasa simpati yang dalam pada gerakan kerakyatan. Orang-orang ini menjadi penting karena jaringanya yang luas baik di level lokal, nasional maupun internasional, aksesnya ke berbagai institusi dan sumber informasi, bahkan ke berbagai institusi pengambil kebijakan yang strategis. Kaum independen ini harus mengonsolidasikan dirinya dalam bentuk kaukus di level distrik/kabupaten/kota. Kaukus ini nantinya akan memilih perwakilannya sendiri yang diberi mandat untuk terlibat dalam pekerjaan organisasi.

Untuk tahap awal pembentukan partai kerakyatan tipe baru ini, maka partisipasi seluas-luasnya harus diberikan kepada berbagai komponen gerakan untuk memberikan sumbangan, terlibat dan memasukkan pikiran-pikiranya yang konstruktif. Untuk itu sebuah proses sosialisasi yang berkelanjutan, militan, efektif, komunikatif, dan telaten harus dilakukan. Bahkan pada kelompok-kelompok kiri yan 'tidak setuju' sekalipun dengan ide ini patut disosialisasikan.

Untuk proses sosialisai ini agar terbuka dan melibatkan banyak pihak, saya berpikir untuk membuat sebuah TERBITAN BERSAMA yang FOKUS berisi pada gagasan dan perdebatan soal pentignya membuat persatuan yang bukan persatean. Terbitan ini didistribusikan oleh tiap komponen yang mendukung gagasan ini, serta berbagai kelompok sosial dan gerakan yang dianggap potensial untuk mendukungnya.


Baca selengkapnya!

29.4.06

Konperensi Persatuan Gerakan Rakyat

Draft Kerangka Acuan
23 Maret 2006

Latar Belakang

Sudah menjadi kesepakatan umum kiranya bahwa reformasi yang dikendalikan oleh elite politik setelah kejatuhan Soeharto gagal membawa Indonesia pada keadaan lebih baik. Krisis ekonomi, integrasi Indonesia ke dalam tatanan kapitalis global membuat tingkat kesejahteraan semakin merosot. Rezim demi rezim pengganti Orde Baru pun memilih menjadi perpanjangan tangan kepentingan perusahaan multinasional dan lembaga keuangan internasional, dan atas nama ‘pemulihan ekonomi’ menerapkan kebijakan yang justru membuat kehidupan rakyat semakin parah.

Keterbukaan politik yang merupakan pencapaian penting dari gerakan yang menjatuhkan Soeharto tidak dengan sendirinya membuat sistem politik menjadi lebih demokratik, apalagi berpihak pada rakyat. Proses reformasi dibajak oleh elite lama yang membentuk atau bergabung dengan kekuatan politik baru, maupun elite baru yang kepentingan dan orientasinya sama sebangun dengan Orde Baru, yang kemudian melahirkan ‘demokrasi neoliberal’. Kekuasaan militer sementara itu memastikan bahwa keterbukaan politik ini tidak berkembang menjadi gerakan yang bisa mengubah sistem.

Gerakan rakyat yang mencakup partai politik progresif, organisasi massa sektoral dan organisasi non-pemerintah atau LSM sejauh ini belum berhasil menjadi kekuatan alternatif dan memberi jawaban terhadap tumpukan masalah yang dihadapi Indonesia sekarang. Mobilisasi massa melawan ketidakadilan meluas di seluruh negeri, tapi belum berkembang menjadi kekuatan politik yang berarti. Salah satu masalah mendasar di sini adalah ketiadaan tempat bagi berbagai elemen gerakan rakyat ini untuk membahas perbedaan pandangan, strategi, taktik dan masalah keorganisasian.

Usaha memperkuat barisan gerakan rakyat semakin mendesak dirasakan di tengah gempuran modal yang bersekutu dengan kekuatan politik anti-rakyat dan dilindungi oleh militer. Munculnya politik komunal berbasis agama, etnik dan ras dalam beberapa tahun terakhir adalah bukti kegagalan gerakan rakyat untuk memberikan alternatif menghadapi krisis. Kegagalan gerakan rakyat untuk tampil sebagai kekuatan berarti dalam pemilihan umum - sebagai proses politik yang penting dalam sistem demokrasi (neo)-liberal - melempangkan jalan bagi kekuatan politik anti-rakyat untuk menguasai lembaga-lembaga negara.

Bertolak dari pengamatan ini, sejumlah perwakilan partai politik progresif, organisasi massa dan organisasi non-pemerintah serta individu yang berkomitmen pada kemajuan gerakan rakyat, mengambil inisatif untuk menyelenggarakan KONPERENSI PERSATUAN GERAKAN RAKYAT. Dalam dua pertemuan persiapan yang berlangsung di KPP-PRD dan WALHI diputuskan bahwa konperensi tersebut akan diselenggarakan pada 20-21 Mei 2006 di Jakarta. Konperensi akan dihadiri oleh elemen-elemen gerakan rakyat dari seluruh Indonesia dan masyarakat Indonesia di luar negeri.

Tujuan dan Sifat

Dengan latar belakang seperti di atas, para pengambil inisiatif menetapkan tujuan konperensi sebagai berikut:

1. Mempertemukan pemikiran dan pemahaman berbagai elemen gerakan rakyat tentang keadaan Indonesia masakini, agar dapat mengelola perdebatan dan perbedaan padnangan secara positif dalam forum terbuka.
2. Mengidentifikasi masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh gerakan rakyat, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.
3. Menetapkan agenda perjuangan bersama bagi gerakan rakyat

Konperensi ini bukan sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang mengikat peserta melainkan wadah untuk membicarakan pandangan, strategi dan masalah dalam gerakan rakyat. Bagaimanapun, para pengambil inisiatif membuka kemungkinan bagi partai politik progresif, organisasi massa sektoral atau lembaga dan individu lainnya untuk membicarakan kemungkinan memperkuat persatuan dan membuat usulan menuju ke arah itu. Di akhir konperensi para peserta dengan dukungan pimpinan sidang akan mengeluarkan serangkaian resolusi dan pernyataan sikap mengenai berbagai masalah yang dibicarakan selama konperensi.

Kepesertaan

Para peserta konperensi adalah wakil-wakil dari partai politik progresif, organisasi massa sektoral, organisasi non-pemerintah atau LSM dan individu yang terlibat dalam gerakan rakyat di Indonesia.

Tema Konperensi

Ada tiga tema utama yang akan dibahas dalam konperensi: (a) krisis kapitalisme di Indonesia, (b) situasi politik nasional dan (c) masalah yang dihadapi gerakan rakyat. Di samping tiga tema utama ini konperensi juga akan menggelar panel khusus mengenai tantangan politik mendesak, yakni pemilihan umum 2009, yang akan menampilkan wakil-wakil partai dan kekuatan politik progresif yang akan terjun dalam pemilihan umum tersebut.

(a) Krisis, Kapitalisme Global dan Negara

Ada dua hal penting yang dilakukan penguasa Orde Baru di bidang perekonomian saat mulai berkuasa, yakni melancarkan pembunuhan massal terhadap elemen-elemen gerakan rakyat dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi modal internasional. Tindakan itu mengubah watak republik yang semula anti-imperialis menjadi salah satu sekutu modal internasional yang paling penting di Asia. Namun integrasi Indonesia ke dalam tatanan kapitalis global tidak dengan sendirinya berlangsung mulus. Spekulasi, kredit fiktif, produksi berlebih, dan korupsi yang menjadi ciri sistem kapitalis, membuat Indonesia terperosok ke dalam krisis pada 1997-98. Krisis memungkinkan lembaga keuangan internasional, terutama IMF, menggerus sisa-sisa ‘ekonomi nasional’ dan membuat Indonesia menjadi sapi perah bagi modal internasional.

Akibat dari paket ‘reformasi ekonomi’ ini adalah angka pengangguran yang melonjak dari 4,6% pada 1996 menjadi 10,54% pada 2005, ancaman bangkrut bagi banyak industri kecil dan menengah serta konsentrasi modal di tangan konglomerat, inflasi yang konstan pada level dua digit, peningkatan jumlah penduduk miskin, hancurnya sektor perekonomian rakyat, pencabutan subsidi BBM, listrik, gas, air dan telepon, perampasan tanah rakyat, dan impor bahan pangan yang menghancurkan perkehidupan rakyat pedesaan. Kesenjangan pun semakin besar jika melihat pola konsumsi kelas-kelas atas yang ditandai dengan meningkat pesatnya impor mobil mewah dan melesatnya sejumlah pengusaha Indonesia ke daftar orang terkaya di dunia versi Forbes.

Pengalihan aset milik bangsa kepada modal internasional adalah ciri lain dari ‘reformasi ekonomi’ selama beberapa tahun terakhir. Sejumlah besar badan usaha milik negara dan sektor vital yang menurut UUD 1945 dikuasai oleh negara, sudah jatuh ke tangan modal internasional yang bekerjasama dengan kaum birokrat. Gelombang privatisasi ini tidak hanya membuat ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan, tapi juga perampasan hak-hak rakyat yang paling dasar untuk mengendalikan kehidupan ekonominya sendiri. Hal ini dimungkinkan antara lain karena pemerintah, dan dengan sendirinya rakyat Indonesia, menjadi tawanan dari utang luar negeri warisan rezim Soeharto kepada lembaga keuangan internasional dan modal internasional yang bermarkas di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.

Sesi ini akan menganalisis krisis dan kelemahan dari sistem kapitalis serta kebijakan rezim neoliberal yang berkuasa di Indonesia sekarang. Para pembicara dalam sesi ini adalah kalangan akademik dan perwakilan gerakan rakyat.

(b) Situasi politik nasional

Kejatuhan Soeharto membawa perubahan besar, walau tidak mendasar, dalam sistem politik Indonesia. Keterbukaan politik, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta media yang relatif bebas dari tekanan, menjadi tanda hidupnya demokrasi di Indonesia. Pada 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, presiden dipilih langsung melalui pemilihan umu. Bagaimanapun, masih ada sederet masalah yang menghadang tumbuh dan berkembangnya sistem politik yang demokratik, seperti militerisme dan militerisasi kehidupan politik, mengemukanya politik identitas/aliran atau komunalisme, dan kebangkitan elite serta preman politik.

Setelah kemerdekaan Timor Leste dan perdamaian di Aceh, kekerasan militer masih berlanjut di daerah-daerah yang dilanda konflik bersenjata, seperti Papua, Maluku dan Sulawesi Tengah. Militer dan polisi juga masih menjadi alat penguasa untuk meredam protes dan perlawanan terhadap kebijakan pembangunan yang merugikan atau ketidakadilan lainnya. Maraknya kelompok sipil bersenjata seperti milisi dan laskar (kadang dengan bantuan dan dukungan dari militer), sebagai senjata pemukul dan partai, organisasi atau kelompok politik tertentu, menciptakan beragam masalah baru bagi rakyat di banyak daerah.

Politik identitas/aliran atau komunalisme yang dikobarkan antara lain oleh kelompok sipil bersenjata tersebut dalam beberapa tahun terakhir juga makin mengemuka. Kombinasi antara aksi jalanan seperti pemberantasan perdagangan alkohol, prostitusi dan hiburan malam dengan rancangan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, anti pornografi serta peraturan di daerah-daerah yang dikuasai oleh kelompok komunal tersebut, tidak hanya menjadi ancaman bagi kehidupan rakyat, tapi juga sendi-sendi kebangsaan dan prinsip serta nilai dasar republik ini. Lemahnya gerakan progresif yang sekuler menjadi dasar berkembang-biaknya politik identitas atau komunalisme ini.

Dorongan untuk melakukan desentralisasi sebagai jawaban terhadap pemusatan kekuasaan politik di zaman Orde Baru, kini berkembang ke berbagai daerah. Hal yang paling menonjol adalah munculnya elite-elite lokal yang bekerjasama dengan kalangan preman militer dan aparat negara lainnya untuk membentuk oligarki lokal, yang dalam prakteknya adalah political gangsterism. Pembangunan daerah yang diharapkan bisa berkembang penuh dengan dicabutnya kekuasaan pemerintah pusat, ternyata dibajak dalam perjalanan oleh oligarki lokal ini.

Sesi ini akan membahas kecenderungan politik yang muncul di masing-masing wilayah dan sektor untuk mendapatkan gambaran tentang situasi nasional secara menyeluruh. Para pembicara berasal dari kalangan akademik dan perwakilan gerakan rakyat.

(c) Masalah-masalah dalam gerakan rakyat

Gerakan rakyat, terutama pemuda dan mahasiswa, punya andil besar dalam menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Keterbukaan politik kemudian memungkinkan tumbuh pesatnya elemen-elemen gerakan rakyat seperti pemuda, mahasiswa, buruh, petani, nelayan, organisasi sekerja (profesi) serta organisasi berbasis kepentingan lainnya. Namun peningkatan jumlah organisasi ini ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kader, anggota dan massa yang menjadi pendukung utama berbagai elemen gerakan rakyat tersebut. Jumlah organisasi dan anggota yang semakin meningkat ternyata tidak dengan sendirinya memungkinkan gerakan mencapai tujuannya. Apalagi jika melihat kecenderungan membelah-diri dalam gerakan sepertinya lebih cepat dari kemampuan merekrut dan menyerap tenaga baru.

Jika melihat sejarahnya, organisasi gerakan rakyat yang muncul dalam periode pasca-Soeharto sebenarnya merupakan kelanjutan dari gerakan sebelumnya, yang diwarnai konflik ideologi dan politik. Walaupun di atas kertas perbedaan ideologi dan politik justru membuka ruang kerjasama, beban psikologis akibat konflik itu masih terasa dan mewarnai gerakan rakyat sehingga sulit berkembang menjadi kekuatan yang solid. Sekalipun relatif berhasil membangun kerjasama untuk menanggapi dinamika sosial dan politik nasional maupun internasional, kerjasama untuk merawat bangunan konsolidasi masih sering terhambat.

Gerakan sektoral yang berbasis di buruh, petani, nelayan dan kaum miskin kota saat ini sudah berkembang, walau kebanyakan masih berupa gerakan atau kelompok di tingkat lokal yang mengutamakan masalah yang langsung mereka hadapi. Karena inilah seringkali gerakan sektoral ini kesulitan merumuskan prioritas bersama, apalagi membangun kerjasama antarsektor dan lintas organisasi untuk menanggapi perkembangan dunia yang begitu cepat. Di sisi lain sejumlah aktor dalam gerakan rakyat, terutama di kalangan organisasi non-pemerintah, cenderung mengedepankan kerja advokasi kasus dan kebijakan, sehingga agenda konsolidasi dan membangun program bersama menjadi terbengkalai.

Sesi ini akan menghadirkan pembicara dari kalangan praktisi dan pengamat untuk membahas masalah-masalah baik di tingkat prinsip, strategi maupun keorganisasian.

(d) Panel khusus ‘Pemilu 2009: Peluang bagi gerakan rakyat?’

Sejauh ini belum ada pemahaman bersama dan kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan gerakan rakyat ketika menghadapi momentum politik besar seperti pemilihan umum. Hal ini terkait dengan perbedaan persepsi dan pemahaman mengenai watak negara dan strategi politik yang merupakan turunannya. Dalam delapan tahun terakhir ada perkembangan penting di Amerika Latin, ketika kekuatan kiri tampil sebagai pemerintah melalui mekanisme pemilihan umum, seperti di Venezuela, Cile, Brasil dan Bolivia. Rangkaian kemenangan ini menjadi sumber inspirasi dan juga bahan untuk menguji apakah penguasaan lembaga negara dan pemerintah melalui pemilihan umum adalah strategi yang tepat untuk menghadapi masalah ekonomi dan politik dewasa ini.

Di lingkungan gerakan rakyat, terlepas dari setuju-tidaknya terhadap politik pemilihan umum (electoral politics), peristiwa pemilihan umum itu sendiri dianggap sebagai momentum yang penting, dan mendesak setiap elemen untuk mengambil posisi. Pembicaraan yang mendalam mengenai berbagai aspek pemilihan umum serta strategi dan taktik gerakan rakyat menghadapinya semestinya dilakukan sejak awal. Tujuannya bukan untuk menghasilkan keputusan yang mengikat, melainkan membuka ruang diskusi bagi berbagai gagasan dan perspektif yang dapat menjadi bahan bagi gerakan rakyat untuk menilai dan kemudian menentukan posisi dalam pemilihan umum 2009.

Panel khusus ini akan menghadirkan perwakilan partai dan kekuatan politik progresif yang akan terjun dalam pemilihan umum 2009.

Alur Konperensi

Waktu/Hari
Hari I
20 Mei 2006
Hari II
21 Mei 2006
Hari III
22 Mei 2006
09.00-12.00Pandangan UmumSesi II: Situasi Politik NasionalResolusi Konperensi
12.00-13.00Makan siangMakan siangMakan siang
13.00-15.00Sesi I: Krisis, Kapitalisme Neoliberal dan NegaraSesi III: Masalah-masalah dalam Gerakan Rakyat Deklarasi dan Mobilisasi (di tempat berbeda)
15.00-15.30RehatRehat---
15.30-18.00Sesi I: Krisis, Kapitalisme Neoliberal dan NegaraSesi III: Masalah-masalah dalam Gerakan Rakyat---
18.00-19.00Makan MalamMakan Malam---
19.00-21.00Sesi II: Situasi Politik NasionalPanel Khusus: Pemilu 2009: Potensi Bagi Gerakan Rakyat?---


Peserta Konperensi

Konperensi ini terbuka bagi seluruh unsur gerakan rakyat, yakni partai politik progresif, organisasi massa, organisasi non-pemerintah (NGO atau LSM), individu yang bersepakat menentang penindasan kapitalisme dan imperialisme. Namun, karena keterbatasan tempat, logistik dan dana, maka panitia terpaksa membatasi jumlah peserta menjadi sekitar 500 orang. Perwakilan dari daerah-daerah diharapkan berimbang, dengan perkiraan 20 wakil dari masing-masing propinsi di Jawa dan bagian selatan Sumatera, serta 10 wakil dari masing-masing propinsi di luar Jawa dan bagian selatan Sumatera.

Proses penentuan peserta akan dilakukan di masing-masing propinsi oleh cabang atau jaringan organisasi dan individu yang mengambil inisiatif ini (lihat daftar panitia di bawah). Pimpinan nasional dari masing-masing organisasi yang mengambil inisiatif konperensi ini akan segera menginstruksikan cabang-cabangnya di wilayah untuk membentuk panitia bersama di tingkat daerah, yang akan menjalankan proses penentuan peserta. Panitia bersama di tingkat daerah ini juga diharapkan dapat melibatkan kelompok atau unsur gerakan rakyat untuk membahas dan mendiskusikan agenda dan tema konperensi.

Peserta perorangan dari kalangan akademik, seniman, rohaniwan, atau tokoh masyarakat yang dianggap kompeten dapat menghadiri konperensi atas rekomendasi, undangan dan seleksi yang dilakukan oleh pleno panitia konperensi.


Panitia Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat (masih bisa bertambah)

  1. AMAN (Alinasi Masyarakat Adat Nusantara)
  2. AMP (Alinasi Mahasiswa Papua)
  3. FMNR (Front Mahasiswa Nasional – Resistence)
  4. FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia)
  5. HIKMAHBUDHI (Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia)
  6. ICW (Indonesian Coruption Watch)
  7. KAB (Kesatuan Aksi Bersama)
  8. KASBI
  9. KAU (Koalisi Anti Utang)
  10. KPA (Koalisi Pembaruan Agraria)
  11. LMND (Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi)
  12. Pergerakan
  13. PRD (Partai Rakyat Demokratik)
  14. PRP (Perhimpunan Rakyat Pekerja)
  15. SBMM (Serikat Buruh Makanan dan Minuman) Bekasi
  16. SBTPI (Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia)
  17. SPM (Serikat Petani Mandiri)
  18. SPOI (Serikat Pekerja Otomotif Indonesia)
  19. SRMK (Serikat Rakyat Miskin Kota)
  20. STN (Serikat Tani Nasional)
  21. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup)



Baca selengkapnya!