Sebuah Proposal
KOMITE PERSIAPAN – PARTAI PERSATUAN PEMBEBASAN NASIONAL (KP PAPERNAS)
Jl. Tebet Barat Raya Nomor 5, RT/15 RW/01 Tebet, Jakarta Selatan - 12820
Telp. (021) 8305819 E-Mail : kp_papernas_pusat@yahoo.com
BAB I
LATAR BELAKANG SITUASI EKONOMI-POLITIK
1. Pemerintahan SBY-Kalla dan Neoliberalisme
Indonesia adalah sebuah negeri kapitalis yang perekonomiannya tergantung dan didominasi oleh kepentingan negeri-negeri imperialis. Dalam kondisi semacam ini rakyat Indonesia selama puluhan tahun hingga saat ini menjadi korban penghisapan dan perampasan kesejahteraan dan sumber daya alamnya oleh kaum imperialis dan kakitangannya di dalam negeri. Sejak sebelum kejatuhan Soeharto, dominasi modal asing telah terjadi di Indonesia. Penguasaan tersebut terdapat dalam industri sektor ekstratif (pertambangan hasil hutan), sektor perakitan, dan manufaktur ringan melalui perusahaan-perusahaan sub-kontraknya. Situasi dominasi ini meningkat signifikan setelah krisis ekonomi antara tahun 1997-1998. Ketidakmampuan rejim Soeharto mengatasi krisis ini membuat satu per satu sektor ekonomi, baik di sector produksi dan distribusi, sampai ke perencanaan ekonomi, diserahkan dan diambil alih oleh kapitalis asing. Lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional (IMF, Bank Dunia, Paris Club, WTO) adalah konsorsium global yang mewakili kepentingan imperialis dari seluruh dunia untuk menghisap dan menjarah asset-aset ekonomi nasional dan untuk menindas hak-hak kesejahteraan rakyat Indonesia. Liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, liberalisasi sistem keuangan, penekanan belanja negara (termasuk pemotongan subsidi), obral murah aset-aset/privatisasi yang berlangsung secara besar-besaran adalah manifestasi dari berjalannya satu proses formasi modal yang baru, formasi modal dari kekuasaan yang lebih loyal kepada kepentingan kaum imperialis neo liberal. Kebijakan ini telah dikenal luas dengan sebutan neoliberalisme. Seperangkat Program Penyesuaian Struktural itu adalah ciri yang dikenal umum dengan baik sebagai kapitalisme neo liberal.
Kebijakan pemerintahan SBY – Yusuf Kalla secara ketat berjalan dalam kerangka kapitalisme neo liberal ini. Dalam waktu satu tahun berkuasa, pelaksanaan kebijakan neoliberal selalu didahulukan sehingga menguatkan karakternya yang khas sebagai kaki tangan kapitalis asing, khususnya yang bermodal besar. Sudah cukup banyak bukti bahwa pemerintahan ini menjalankan bentuk-bentuk ekonomi neoliberal, melanjutkan apa yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Mulai dari mencabut subsidi (baik BBM, TDL, pupuk, dll), menjual aset-aset yang dalam tahun 2005 lalu ditargetkan 3,5 trilun rupiah dari hasil penjualan dan 1 triliun rupiah pada 2006 (yang digunakan untuk membayar utang luar negeri), liberalisasi perdagangan dengan kasus terbaru impor beras yang menyengsarakan petani, sempai kebijakan-kebijakan pro pasar lainnya. Jadi siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari sistem kapitalisme neoliberal ini telah menjadi sangat jelas.
Pelaksanaan kebijakan ini tidak dijalankan sendiri oleh pemerintahan SBY-JK, melainkan juga atas dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagian besar pemilik (pengontrol) media massa nasional, serta ahli-ahli ekonomi pendukungnya. Peran DPR dapat terlihat jelas dari politik anggaran yang tercantum dalam APBN, di mana (sebagai contoh), porsi untuk membayar utang luar negeri jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta keseluruhan anggaran pembangunan.
Menjadi jelas, bahwa seluruh kekuatan yang berkuasa, atau para pemegang otoritas pemerintahan, berada di pihak kaum imperialis neoliberal. Sementara di sisi lain kekuatan-kekuatan yang berada di posisi menentangnya, belum dapat berada diseberangnya. Sampai sejauh ini pihak yang mewakili kepentingan kaum imperialis neo liberal berada dalam posisi politik yang unggul, sedang pihak yang menentang masih belum dapat melawan secara efektif dan mengubah imbangan politik tersebut.
2. Liberalisasi Politik dan Kebutuhan Alternatif
Harapan rakyat akan perubahan ke kondisi yang lebih baik tidak dapat diwujudkan di bawah pemerintahan SBY-JK. Kepercayaan rakyat terhadap elit-elit yang berkuasa juga cenderung menurun seiring semakin banyak kebijakan yang anti rakyat yang dijalankan oleh elit-elit ini. Kecenderungan ini dapat dibuktikan dari hasil pemilihan umum 2004 lalu, dimana dukungan terhadap seluruh partai-partai dan figur-figur politik tradisional merosot, serta semakin berkembang luasnya aksi-aksi perlawanan rakyat yang dilakukan untuk menentang setiap ekses neoliberalisme di segala sektor.
Kebebasan politik yang diperoleh rakyat—meski masih dibayangi dan dihambat oleh sisa-sisa kekuatan militerisme dan pro kediktatoran Orde Baru—telah mulai dimanfaatkan untuk pembangunan wadah-wadah perjuangan, sampai dengan mengembangkan bentuk-bentuk perjuangannya. Aksi massa terjadi hampir setiap hari di seluruh daerah, di setiap level teritorial. Setiap sektor rakyat, buruh, tani, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, guru, pegawai negeri berpangkat rendah, paramedik, dan sektor-sektor yang pada masa sebelumnya relatif mapan, mulai turut dalam perjuangan massa. Aksi massa telah menjadi budaya perlawanan dan investasi perjuangan rakyat yang sudah tidak dapat dipukul mundur oleh kekuatan reaksioner manapun. Aksi massa adalah satu proses maju dan hasil langsung dari perjuangan menentang kediktatoran Orde baru.
Di sisi yang lain, kebebasan politik ini dimanfaatkan juga oleh kaum elit untuk memperkuat kekuasaan mereka. Bukan rahasia lagi, setelah berada di kekuasaan, mereka tidak menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengangkat rakyat dari penderitaan, melainkan sebaliknya untuk menindas. Mereka menyediakan dan memfasilitasi berbagai lembaga baru sebagai saluran politik rakyat, namun semata-mata bertujuan untuk meredam, menumpulkan, dan melunakkan kemarahan dan perlawanan rakyat. Contohnya adalah dengan membentuk berbagai macam Komisi, atau juga memfasilitasi berbagai macam NGO, lembaga riset dan sejenisnya, yang sejalan dengan ideologi kelas penguasa. Mereka juga juga mengumbar jargon-jargon populisme, berkompetisi senyaring-nyaringnya agar didengar rakyat. Namun ketika kekuasaan sudah didapat, mereka mengeluarkan dan menyetujui berbagai kebijakan ekonomi yang pro kepentingan kaum imperialis neoliberal dan menindas rakyat.
Perubahan politik dominan yang terjadi adalah tumbuhnya berbagai instrumen, lembaga-lembaga demokrasi borjuis, kebebasan dalam batas-batas demokrasi borjuis. Sedang dalam lapangan kekuasaan yang terjadi hanyalah siklus kekuasaan dari berbagai klik oligharki modal yang menjadi kakitangan dan kepanjangan tangan negeri-negeri imperialis. Pemerintahan SBY-Kalla, maupun pemerintahan Megawati yang digantikannya juga mewakili karakter yang sama.
Situasi ini terjadi, karena kaum pergerakan belum mampu secara efektif memanfaatkan keterbukaan ruang demokrasi, sekalipun masih dalam batas-batas demokrasi borjuis. Instrumen-instrumen, dan lembaga-lembaga demokrasi borjuis sejauh ini belum dapat dimanfaatkan oleh kaum pergerakan untuk kepentingan-kepentingan memajukan perjuangan rakyat. Dalam situasi keterbukaan serta kebangkitan perlawanan dari seluruh kelas dan golongan menderita, dituntut taktik-taktik perjuangan baru yang sesuai dan tepat, agar kemajuan perjuangan rakyat dapat berkembang secara lebih signifikan.
Sekalipun demikian patut untuk dicatat oleh sejarah, proses perubahan politik sejak perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru telah mencatat sukses-sukses dan kemajuan yang berarti, dalam perkembangan gerakan dan kesadaran rakyat. Tumbuh dan berkembangnya budaya aksi massa dan perlawanan rakyat, juga organisasi-organisasi perjuangannya serta daya kritis rakyat dalam menyikapi berbagai perkembangan ekonomi politik di nasional maupun di lokal-lokal adalah ekspresi politik nyata dari kemajuan yang telah dicapai itu. Serikat buruh, organisasi tani, serikat rakyat miskin kota, organisasi mahasiswa tumbuh berkembang sebagai fakta dari proses kemajuan yang sudah berhasil dicapai. Situasi ini adalah cerminan obyektif dan potensi perjuangan rakyat yang berharga. Namun situasi ini juga merupakan ekspresi kehendak perjuangan rakyat yang menuntut dipenuhinya syarat-syarat perjuangan dan alat-alatnya yang lebih maju dan lebih sesuai dengan perkembangan ini.
Lahirnya alat dan bentuk-bentuk perjuangan yang lebih maju, dan lahirnya alat perjuangan alternatif, adalah kehendak kongkrit dari perjuangan rakyat. Hingga kini, kaum pergerakan belum mampu menyediakan dan menjawab tentang alat perjuangan alternatif ini. Berdirinya berbagai partai progresif, serikat-serikat buruh, ormas-ormas tani, organisasi-organisasi semi proletariat perkotaan, baik di nasional maupun lokal adalah positif. Namun kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan memajukan berbagai segi positif itu menuntut alat perjuangan yang lebih daripada itu.
BAB II
PERJUANGAN RAKYAT MEMBUTUHKAN POLITIK FRONT PERSATUAN NASIONAL
Sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi kaum pergerakan untuk menyatukan berbagai potensi dari gerakan rakyat yang terfragmentasi di berbagai organisasi, tuntutan, orientasi perjuangan yang semata-mata bersifat lokal dan sektoral. Penyatuan potensi dari seluruh kekuatan gerakan rakyat adalah tuntutan bagi perjuangan melawan imperialisme dan perebutan seluruh hak-hak demokratik rakyat yang berpengharapan untuk menang. Oleh karena itu politik front persatuan nasional adalah kebutuhan mendesak bagi gerakan rakyat untuk dapat secara efektif melawan kekuatan imperialis neo-liberal dan kakitangannya di dalam negeri dengan seluruh kepentingannya.
Tujuan dari politik front persatuan nasional yang pokok adalah penyatuan kekuatan dalam arti menggalang kerjasama untuk membangun alat perjuangan bersama dari seluruh unsur gerakan rakyat yang demokratik dan anti imperialisme. Namun yang tidak kalah pentingnya atau sebagai tujuan jangka pendeknya, adalah mampu menciptakan alat perjuangan bersama yang dapat menjawab kebutuhan untuk merebut semaksimal-maksimalnya ruang demokrasi borjuis –yaitu dengan membangun partai front—dan dimanfaatkan untuk tujuan perjuangan yang lebih besar yaitu, merebut seluruh kekuasaan untuk kepentingan kelas buruh, kaum tani, dan semiproletariat perkotaan yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini.
Kerja-kerja persatuan di antara gerakan rakyat yang selama ini sudah terjalin, walau baru sebatas persatuan-persatuan dengan ikatan platform yang parsial dan berada dalam momentum-momentum yang pendek, merupakan investasi yang positif, sekaligus inti dari kebutuhan front persatuan nasional yang lebih strategis sifatnya. Karena front persatuan nasional dalam bentuk partai front sudah menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhirnya. Partai front sebagai bentuk dari front persatuan nasional ini adalah alat bersama untuk menghadapi seluruh kekuatan pendukung imperialisme neoliberal di dua medan perjuangan yaitu medan gerakan massa dan medan elektoral.
BAB III
UNSUR-UNSUR POTENSI FRONT PERSATUAN
1. Organisasi massa dari kelas buruh, kaum tani, mahasiswa, rakyat miskin kota, pemuda, perempuan, organisasi lingkungan yang berskala nasional yang demokratik, dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.
2. Seluruh Partai politik yang demokratik dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas yang bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.
3. Organisasi massa dari kelas buruh, kaum tani, mahasiswa, rakyat miskin kota, pemuda, perempuan, organisasi lingkungan, masyarakat adat dan suku anak dalam di daerah-daerah yang demokratik, dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas dan bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.
4. Individu-individu yang demokratik dan pro kepentingan kelas-kelas tertindas dan bersepakat untuk menentang imperialisme dengan seluruh kepentingan-kepentingan kaum imperialis di Indonesia.
BAB IV
RANCANGAN PROGRAM PERJUANGAN DARI FRONT PERSATUAN NASIONAL
Sebagaimana telah disimpulkan, sumber kehancuran kehidupan rakyat adalah dominasi kaum imperialis dengan kakitangannya di dalam negeri, dimana faksi SBY-Kalla yang menguasai pemerintahan sebagai kakitangan utamanya. Kaum imperialis dan kakitangannya juga, baik yang sedang berkuasa maupun mantan-mantan kakitangannya yang sudah ditinggalkan –seperti faksi cendana—merupakan sumber dari segala penindasan terhadap hak-hak demokrasi rakyat.
Oleh karena itu ciri atau karakter pokok dari program perjuangan Front Persatuan Nasional adalah anti imperialisme dan menjunjung tinggi hak-hak demokrasi rakyat. Manifestasi dari ciri atau karakter yang pokok dari program perjuangan yang anti imperialis dan menjunjung tinggi hak-hak demokrasi rakyat adalah: secara ekonomi mampu menjawab problem-problem kesejahteraan rakyat yang bersifat mendesak dan mampu menjadi dasar dan bersifat memajukan perkembangan tenaga produktif nasional agar program industrialisasi nasional menjadi berhasil, tangguh dan mandiri; dan secara politik adalah mempertahankan ruang demokrasi, memperluasnya, dan menentang potensi-potensi dari kekuatan dan sistem kekuasaan yang mengancam demokrasi.
Program mendesak dari Front Persatuan nasional adalah:
1. Penghapusan hutang luar negeri dan penarikan kembali obligasi rekapitalisasi perbankan.
Dua komponen yang dibiayai dari APBN ini adalah sumber pemborosan anggaran yang terbesar, karenanya menghambat kemampuan keuangan negara bagi program industrialisasi nasional, menghambat pemassalan teknologi, dan menghambat program-program pembentukan capital social—seperti pendidikan dan kesehatan—yang menjadi penunjangnya. Dalam tahun anggaran 2006 ini saja dana APBN yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga dari hutang luar negeri mencapai sekitar 140 triliun atau sekitar 27% dari total pendapatan/pengeluaran APBN. Dari angka itu, 11% untuk membayar bunga hutang, dan 16% untuk cicilan pokok. Bandingkan dengan anggaran untuk pembangunan dalam APBN 2006 yang hanya 7%. Selain itu beban hutang ini juga bersifat merampok uang rakyat, karena sebagian besar hutang luar negeri ini hanya dinikmati oleh negeri-negeri kreditur dan kaum kapitalisnya. Juga minoritas kaum kapitalis birokrat dan kroni dari pemegang kekuasaan di Indonesia. Mereka ini, kroni pemegang kekuasaan di Indonesia, menjadi pemasok dan kontraktor dari proyek-proyek yang dibiayai dari hutang luar negeri. Sementara itu dana dan bunga obligasi rekapitalisasi perbankan tidak lain dan tidak bukan merupakan subsidi yang dinikmati para bankir, yang kebanyakan juga banker-bankir asing seperti Temasek, Farallon, dan sejenisnya. Praktek ini telah berlangsung selama puluhan tahun sejak berdirinya Orde Baru, dan akan terus membebani rakyat selama puluhan tahun ke depan tanpa keberanian untuk memperjuangkan penghapusannya.
Berbagai macam metode dalam memperjuangkan hutang luar negeri dapat kita pelajari. Soekarno misalnya sama sekali menolak hutang warisan pemerintahan Hindia Belanda yang menjadi salah satu keputusan dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag pada 1949, dimana secara tidak adil dibebankan pembayarannya kepada rakyat Indonesia. Uni Soviet dalam tahap awal kemenangan Revolusi Oktober 1917, juga menolak pembayaran hutang luar negeri, mereka baru mau membayar ketika tingkat kesejahteraan rakyat Soviet sudah meningkat. Atau seperti yang belakangan ini ditunjukkan oleh pemerintahan Argentina, dimana mereka menolak untuk membayar hutang luar negeri sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan agar anggaran Negara dapat diprioritaskan untuk membangun perekonoian Argentina. Tak seperti yang dinyatakan oleh para ekonom dan intelektual kakitangan imperialis, yang menakut-nakuti bahwa tuntutan penghapusan hutang akan merusak kredibilitas di mata internasional, dan dapat menyebabkan investasi akan merosot. Argentina justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Salah satu kuncinya adalah dengan mengalihkan dana pembayaran hutang luar negeri menjadi anggaran untuk pembangunan, dan ketika pemerintahan Argentina mengeluarkan Bond—surat hutang Negara—investor internasional tetap berbondong-bondong untuk membelinya. Juga ketika Pemerintah dengan persetujuan parlemen menyatakan, mereka hanya akan membayar 30% dari total nilai hutangnya juga tak mengendurkan niat untuk berinvestasi di Argentina. Dengan metode ini pemerintah Argentina mendapat penghapusan hutang kurang lebih sekitar 72 milyar dollar. Sementara itu Nigeria menempuh metode yang lain, yaitu melobi NGO-NGO di negeri-negeri kreditur untuk mendukung tuntutan penghapusan luar negeri mereka, dan mereka mendapat pemotongan hampir 90% dari total hutang luar negeri sejumlah 25 milyar dollar.
2. Nasionalisasi Industri minyak, gas, dan listrik.
Sumber-sumber energi yang utama di dalam negeri harus dikuasai oleh Negara. Sehingga, hasil sumber daya dan konsumsi energi dalam negeri dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan yang menunjang industri dalam negeri, dan kebutuhan konsumsi energi rakyat. Komersialisasi energi hanyalah dalih untuk menguras sumber daya energi nasional bagi kepentingan segelintir imperialis minyak dan energi asing serta kroninya di dalam negeri. Komersialisasi hanya dapat dilakukan sejauh kebutuhan untuk industri dan konsumsi dalam negeri telah tercukupi, dan komersialisasi itu bukan ditujukan terhadap rakyat sendiri seperti yang selama ini berlangsung. Tanpa nasionalisasi, kebangkrutan industri dan komersialisasi pupuk seperti yang berlangsung selama ini akan terus berlangsung, karena kebutuhan bahan bakunya (gas) tidak sanggup dipenuhi oleh industri gas dalam negeri. Ketidaksanggupan itu dikarenakan praktek komersialisasi yang disebut tadi. Bertambah mahalnya harga BBM dan gas juga akan semakin sering dijadikan dalih bagi PLN untuk menaikan tarif listrik. Situasi ini semakin mendorong percepatan kebangkrutan industri dalam negeri, menciptakan pengangguran massal dan memerosotkan kualitas kesejahteraan rakyat.
Banyak metode bagaimana pemerintahan yang pro rakyat dalam menjalankan politik nasionalisasi ini. Itu semua tergantung pada kesadaran, kehendak, dan perjuangan rakyat Indonesia sendiri. Apakah seperti metode yang ditempuh Soekarno yaitu menasionalisasi perusahaan dari negeri-negeri Imperialis yang paling bermusuhan dengan perjuangan rakyat Indonesia; atau seperti metode yang ditempuh oleh Salvador Allende dalam periode singkat pemerintahannya, yaitu, dibeli dengan pembayaran di belakang hari, atau metode-metode lainnya.
3. Membuka lapangan kerja dengan program industrialisasi nasional. Adalah keliru jika pembukaan lapangan kerja mengandalkan pada investor asing dan swasta dalam negeri. Hal ini terbukti rentan terhadap gejolak ekonomi di tingkat global. Selain itu andalan pada swasta dalam negeri dan investor asing selalu mengorbankan hak-hak buruh sebagai cara untuk menarik investor asing (keunggulan komparatif).
Sumber-sumber ekonomi dan kapital strategis yang dikuasai Negara harus diarahkan untuk mendirikan secara massal industri di dalam negeri. Pemerintah harus membangun, melindungi dan mengembangkan industri-industri dasar seperti baja, permesinan, kelistrikan, industri pertanian, farmasi, automotif, kereta api, perkapalan, telekomunikasi, optik. Tanpa hal ini, tidak masuk akal untuk mengatasi persoalan pengangguran. Kecuali jatuh pada program belas kasihan, populisme seperti BLT, padat karya bersih-bersih jalan dan selokan, yang tidak menguatkan tenaga produktif dalam negeri, bahkan memboroskan anggaran Negara. Dengan semakin banyak orang mendapatkan pekerjaan, maka rata-rata daya beli masyarakat juga turut terdongkrak.
4. Melindungi industri dalam negeri, mengontrol dan mengawasi perdagangan umum dengan luar negeri.
Perdagangan dengan luar negeri dalam bentuk ekspor dapat dilakukan sejauh kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Di luar syarat ini, ekspor harus dikenakan pajak yang tinggi. Sementara mengenai impor dapat dilakukan dalam kerangka menguatkan program industrialiasi nasional. Misalnya mengimpor mesin dan barang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan sebagainya. Hanya dengan perlindungan, dan subsidi dari pemerintah, kebangkrutan massal industri dalam negeri yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini dapat dihentikan, serta seterusnya dicegah. Manfaat lainnya adalah kapasitas produksi dari industri dalam negeri dapat dipulihkan. Berbagai pilihan kebijakan dapat ditempuh program ini. Misalnya seperti kebijakan co-manajement yang ditempuh oleh Pemerintahan Chaves di Venezuela, di mana perusahaan-perusahaan yang bangkrut diberi modal oleh negara. Kemudian manajemen dan pengelolaannya diserahkan kepada kaum buruh diperusahaan yang bersangkutan. Atau dalam jangka pendek, seperti yang dijalankan oleh Presiden Roosevelt pada masa depresi besar tahun 1930-an, yaitu, hasil-hasil produksi perusahaan dalam negeri yang mengalami kesulitan dalam pemasarannya dibeli oleh Negara, dan kemudian oleh Negara dijual kembali. Metode kedua ini dapat memanfaatkan Bulog sebagai instrumennya yaitu dengan memperluas tanggungjawab bulog dari sekedar menstabilkan harga beras menjadi sentral dari distribusi produksi industri dalam negeri namun juga dengan membabat habis korupsi di dalam tubuh Bulog.
5. Pendidikan dan Kesehatan Gratis untuk seluruh rakyat.
Pendidikan gratis ini mencakup segala jenjang pendidikan. Program penggratisan pendidikan hingga SMP oleh Pemerintahan SBY-Kalla terbukti bohong dan tidak mengatasi persoalan. Faktanya sebagian besar TK, SD, dan SMP masih memungut biaya dari murid, dan program pendidikan gratis ini tidak mencakup keseluruhan biaya pendidikan (transportasi, buku-buku, asrama dan sebagainya). Selain itu lulusan SMP juga tidak memadai untuk terserap oleh lapangan industri dan tidak mampu menjadi dasar capital social yang kuat yang dapat menunjang program industrialisasi nasional. Sementara itu prioritas dari program pendidikan gratis ini harus sejalan dengan kebutuhan untuk menguatkan program Industrialisasi nasional, yaitu memprioritaskan pendidikan dalam bidang teknik, pertanian, geologi, farmasi, juga bidang kedokteran. Demikian juga jalur-jalur pendidikan non formal atau kursus-kursus ketrampilan yang juga harus difasilitasi oleh Negara tekanan prioritasnya mengabdi pada kepentingan program industrialisasi nasional. Program demikian juga yang sedanag dijalankan oleh pemerintahan rogressif Chaves di Venezuela melalui program-program Mission Ribas, Mission Sucre dan sebagainya. Sebagai subyek penyangga, kualitas guru atau pengajar juga terus ditingkatkan, sekaligus negara menjamin taraf kesejahteraan mereka. Demikian juga dengan program kesehatan gratis, semua golongan harus digratiskan dari biaya rawat inap, konsultasi dan jasa dokter atau medis, dan obat-obatannya. Program belas kasihan dengan dalih menggratiskan untuk yang miskin saja hanyalah menciptakan sumber penyelewengan dan korupsi baru. Di tengah standarisasi ukuran kemiskinan yang beraneka ragam dan sarat kepentingan politis adalah jauh lebih sulit menghitung jumlah orang miskin ketimbang orang kaya.
Propaganda dari intelektual dan birokrat antek-antek imperialis yang menyatakan bahwa subsidi harus tepat sasaran adalah pura-pura tidak tahu persoalan dan menipu rakyat. Ada seribu macam instrument kebijakan yang dapat digunakan untuk menarik kembali subsidi yang jatuh pada golongan yang dinyatakan orang kaya ketimbang muluk-muluk menyatakan bahwa subsidi hanya untuk orang miskin—yang standar kemiskinannya telah direndahkan sedemikian rupa. Sehingga yang terjadi adalah orang miskin justru dijadikan industri dan komoditi oleh segelintir kaum pemodal dan birokrat korup untuk berbagai macam program belas kasihan: BLT/SLT Bantuan Langsung Tunai/Subsidi Langsung Tunai), minyak tanah bersubsidi, solar bersubsidi, beras miskin/raskin, dsb. Di setiap kecamatan minimal harus ada satu poliklinik, dan disetiap desa/kelirahan minimal terdapat satu puskesmas. Memassalkan, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta menggratiskannya adalah syarat bagi peningkatan human capital yang mutlak diperlukan oleh program industrialisasi nasional.
6. Upah Minimum Nasional sesuai KHL Untuk Kaum Buruh. Penghitungan standar Kebutuhan Hidup layak (KHL) berdasarkan rata-rata standar KHL 9 kota industri utama. Kota industri utama yang dimaksud adalah: Jakarta, Tangerang, Medan, Batam, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Balikapapan.
Penghitungannya dilakukan oleh Dewan Pengupahan yang merupakan lembaga Tripartit. Selain untuk meningkatkan tingkat upah yang layak dan kesejahteraan bagi kaum buruh juga bertujuan agar kesenjangan perkembangan industri, kesenjangan pendapatan, kesenjangan desa dan kota, kesenjangan konsentrasi capital, kesenjangan konsentrasi penduduk dapat dikurangi. Sehingga tenaga kerja di pedesaan atau kota-kota kecil tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota-kota besar tertentu untuk mendapatkan pekerjaan, dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Tentu saja ketentuan ini hanya berlaku bagi perusahaan swasta atau BUMN yang mampu, bagi yang belum mampu tingkat kenaikannya ditentukan oleh Dewan Pengupahan-Dewan Pengupahan setempat. Sebaliknya bagi perusahaan yang berkemampuan memberi upah lebih tinggi dari upah minimum nasional juga diwajibkan oleh Dewan Pengupahan setempat untuk memberikannya.
7. Menurunkan harga sarana produksi pertanian, perlindungan terhadap hasil-hasil pertanian dalam negeri, dan penyelesaian sengketa Agraria dengan mengutamakan keadilan dan kesejahteraan untuk kaum tani. Sarana produksi yang dimaksud terutama pupuk dan mesin-mesin pertanian (traktor, mesin giling, mesin perontok, mesin pengering). Agar harga pupuk dapat ditekan maka mutlak diperlukan program nasionalisasi industri gas, minyak, dan listrik sehingga harganya dapat ditekan. Penutupan pabrik-pabrik pupuk karena kekurangan pasokan gas seperti yang selama ini terjadi adalah akibat pemerintah dari zaman orde baru hingga SBY-Kalla telah menjadi kacung dari kaum imperialis yang menguasai industri gas. Kenyataan ditutupnya pabrik-pabrik pupuk oleh karena kekurangan gasselayaknya menjadi vonis mati Pemerintahan SBY-Kalla dihadapan kaum tani. Negara juga harus memfasilitasi, mengembangkan, dan memajukan industri mesin-mesin pertanian, dan juga industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Dalam masa transisi, dimana dibutuhkan proses untuk menuju kemampuan dalam negeri dalam memproduksi mesin-mesin bagi industri pertanian diperbolehkan melakukan impor mesin-mesin bagi industri pertanian. Teknologisasi ini tidak akan menghasilkan pengangguran baru (yang keluar dari sektor pertanian) melainkan justru menyerap tenaga kerja ke dalam sektor industri pertanian yang dibangun.
Penyelesaian konflik atau sengketa agraria juga menjadi agenda yang bersifat mendesak. Kaum tani telah ditindas secara fisik dalam mempertahankan hak-hak atas tanahnya selama puluhan tahun, sejak berdirinya kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Dalam kurun waktu kurang lebih selama 30 tahun, sejak 1970 hingga 2001, terjadi 1.753 kasus sengketa tanah. Dari keseluruhan sengketa tersebut, 19.6% terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar. 13.9% dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 13.2% akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 8.0% merupakan sengketa tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 6.6% merupakan sengketa akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 4.4% sengketa akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 4.2% adalah sengketa yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Dalam sengketa-sengketa dan konflik itu tidak kurang dari 1.090.868 rumah tangga telah menjadi korban langsung, dan meliputi tidak kurang dari 10.5 juta hektar lahan yang disengketakan. Prinsip dalam penyelesaian sengketa agrarian adalah mengembalikan kepada kaum tani yang menjadi korban perampasan tanah disertai ganti rugi jika tanah tersebut belum berubah menjadi kapital yang produktif. Jika tanah tersebut sudah menjadi kapital yang lebih produktif, pengelolaannya diserahkan kepada kaum tani yang menjadi korban dengan membentuk Dewan Tani, dan atau memberikan ganti untung–dan bukan ganti rugi—jika yang kaum tani yang bersangkutan menghendakinya. Tanah-tanah negara dan swasta yang tidak dikelola secara produktif didistribusikan kepada kaum tani dan pengelolaannya diserahkan kepada Dewan Tani – Dewan Tani setempat.
8. Nasionalisasi Industri Perbankan dalam negeri.
Proses privatisasi terhadap berbagai bank dalam negeri harus ditinjau ulang. Karena hanya menguntungkan bankir-bankir imperialis seperti Temasek, Farallon, sebab turut serta di dalam bank-bank yang dijual itu ratusan triliun dana obligasi rekapitalisasi perbankan yang setiap tahunnya membebani ABPN puluhan triliun. Dan subsidi ini dinikmati oleh bankir-bankir imperialis seperti Temasek dan Farallon. Kepemilikan asing terhadap bank-bank di dalam negeri harus dibatasi karena dapat merugikan perekonomian nasional. Penguasaan bank adalah jalan tol bagi kaum imperialis untuk menguasai sector-sektor ekonomi penting lainnya. Penguasaan bank dalam negeri oleh asing terbukti menyulitkan dalam menjalankan peranan nasional dari perbankan untuk mendukung proses industrialiasi nasional. Kredit-kredit hanya diarahkan untuk sector konsumsi, dimana barang-barang konsumsi yang diperdagangkan juga produk dari negeri-negeri imperialis sendiri. Bank asing hanya boleh beroperasi sebagai cabang dari bank-bank di negeri induknya dengan membatasi operasionalnya.
9. Penyelamatan asset-aset nasional dari program privatisasi BUMN dan liberalisasi aset-aset ekonomi strategis lainnya (air, migas, listrik, rumah sakit, universitas dan sebagainya) dari Pemerintahan SBY-Kalla.
Program ini terbukti merugikan adanya. Apalagi tak seperti yang digembargemborkan para penganjur privatisasi bahwa selama ini BUMN membebani Negara, ternyata BUMN-BUMN yang dijual adalah BUMN-BUMN yang justru mendapat laba usaha yang besar. Selain itu privatisasi juga menjauhkan akses rakyat terhadap barang-barang kebutuhan dan jasa yang pokok karena setelah diprivatisasi pemilik modalnya, yang kebanyakan asing demi mengeruk laba yang sebesar-besarnya terus menaikan harga jual produknya.
10. Bubarkan Komando Teritorial TNI. Lembaga Koter ini selama ini, apalagi pada masa Orde Baru terbukti telah menjadi mesin penghancur demokrasi. Tak terbilang korban-korbannya. Mempertahankan lembaga Koter sama artinya meletakan bom waktu bagi demokrasi, dan pemborosan yang luar biasa dari APBN apapun dalihnya. Mau dalihnya untuk pemberantasan terorisme, menjaga stabilitas, membasmi kekuatan ekstrim kiri dan ekstrim kanan dan ekstrim-ekstrim lainnya, Koter terbukti merusak demokrasi karena wataknya yang ekstra yudisial dan latar belakang masih dominannya jenderal-jenderal TNI yang gemar berpolitik.
Koter juga merupakan sumber pemborosan anggaran Negara yang luar biasa besar, bisa dibayangkan berapa besar anggara negara harus membiayai biaya operasional sekian puluh ribu Babinsa yang ada disetiap kelurahan di Indonesia, sekian Koramil yang ada disetiap kecamatan, sekian ratus Kodim disetiap Kabupaten, Korem, di Karesidenan, dan Kodam-kodam dihampir setiap propinsi diseluruh Indonesia. Di bawah pemerintahan SBY-Kalla jumlah Komando Teritorial justru semakin bertambah. Front Persatuan Nasional adalah kekuatan rakyat yang akan menjadi pembela garda depan terhadap hak-hak demokratik rakyat.
Seluruh bentuk diskriminasi politik oleh karena perbedaan ideologi, gender, keyakinan agama, etnis, orientasi seksual adalah musuh daripada Front Persatuan Nasional.
BAB V
PRINSIP-PRINSIP FRONT PERSATUAN KITA
Keberhasilan kekuatan politik alternatif baru (Front Persatuan) mendesakkan program-program tersebut di atas tentu saja harus berlandaskan terpenuhinya syarat perluasan kampanye maupun struktur front. Akan sangat susah bagi kita untuk meluaskan kampanye (propaganda) tanpa adanya suatu organisasi yang bisa bergerak secara luwes (dalam berbagai situasi) serta memiliki struktur/perangkat-perangkat yang memungkinkan untuk itu. Karenanya, front persatuan nasional, haruslah menjadi wadah yang mampu mengakomodir kekuatan organisasi-organisasi ataupun individu yang sepakat dengan program-program perjuangan, bersedia untuk berjuang bersama, dan berkomitmen menjalankan aktivitas-aktivitas dari front persatuan nasional. Sebenarnya, beberapa tahun terakhir, berbagai organisasi dan individu telah mencoba secara berulang kali melakukan kerjasama politik berbasiskan momentum. Contohnya adalah Koalisi Nasional, ARB, ARM, Perisai, dll. Namun sebagaimana juga terjadi sebelumnya, gerakan rakyat non-parlementarian seperti terjebak melakukan eksperimen sama dengan hasil sama pula; hanya bergerak berdasarkan momentum politik, dan ‘bubar’ tidak lama sesudahnya.
Karena itu organisasi Front kita ke depan sejatinya adalah wadah persatuan massa yang bersifat strategis dan terbuka: strategis dalam makna perjuangannya berdasarkan platform politik (sebagai cerminan penyelesaian problem mendesak yang dialami rakyat Indonesia), berkomiten merebut setiap peluang kekuasaan untuk diabdikan pada perjuangan rakyat, terbuka bagi seluruh organisasi dan seluruh individu yang anti imperialisme dan demokratik, dalam pengertian menerima siapa saja yang menerima platform Front, dan siap menjalankannya secara aktif. Kita menghargai inisiatif organisasi/individu pendiri dalam kapasitasnya sebagai perintis/pelopor. Namun, penghargaan yang utama ada pada semua kekuatan (organisasi ataupun individu) yang secara serius menerima program sejak dari pikiran dan aktif menjalankannya dalam praktek. Tanpa memahami prinsip ini, akan sangat sulit membayangkan perluasan dan penguatan organisasi kita. Tanpa memahami prinsip ini pula, organisasi front persatuan tidak akan menjadi satu kekuatan riil. Ia hanya akan menjadi gagasan indah di tengah suramnya situasi yang dihadapi masyarakat kita.
BAB VI
TUGAS-TUGAS MENDESAK KITA:
SECEPAT-CEPATNYA MENDIRIKAN, SECEPAT-CEPATNYA BERTINDAK!
Sesudah masa euphoria penuh spontanitas yang berlangsung pasca kejatuhan Suharto, saat ini telah muncul unsur-unsur baru yang berpikiran dan bertindak maju dalam perjuangannya. Jika pada masa-masa awal pasca jatuhnya rejim Suharto, hanya beberapa organisasi yang secara konsisten mempelopori program oposisi anti rejim neo-liberalis dan secara serius mengkampanyekan kebutuhan tatanan pemerintahan baru, saat ini perspektif tersebut mulai meluas ke lapisan massa rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya berbagai organisasi sektoral ataupun multisektoral, (bahkan embrio Partai Politik baru), misalnya AGRA/FMN, PRP, sayap politik Walhi, PPR dan lain-lain. Walau harus diakui, di tengah ilusi kebebasan politik ala demokrasi borjuis, kekuatan-kekuatan alternatif yang mencita-citakan ‘Indonesia Baru” belum sepenuhnya mengambil peran signifikan dalam menekan/menggolkan agenda-agenda alternatifnya. Terutama, hal ini dapat dilihat dari semakin merajalelanya agenda-agenda neo-liberal yang diterapkan pemerintahan SBY-Kalla.
Partai Rakyat Demokratik, mengusulkan, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan gerakan demokratik-kerakyatan, dan memajukan aspek positif yang telah dicapainya, secepat-cepatnya, berbagai organisasi/individu sepemikiran dengan program usulan di atas dapat menyatukan diri dalam suatu Front Persatuan. Beberapa organisasi inisiator ataupun individu pendukung, harus segera merapatkan diri dan menjadi semacam Komite Persiapan yang akan mempersiapkan segala sesuatunya, dari mulai sosialisasi secara public, menawarkan ke berbagai organisasi, partai, dan individu yang berpotensi untuk diajak bergabung, hingga pekerjaan-pekerjaan teknis untuk mempersiapkan kongres dari Front Persatuan Nasional. Secara teknis, unsur-unsur yang bergabung di daerah, harus diberi keleluasaan (demokratik tapi cepat) bagi pendirian-pendirian Komite Persiapan serupa di seluruh wilayah, kota, kecamatan, hingga kelurahan-kelurahan/desa-desa. Hal ini terutama untuk mengatasi berbagai kelemahan dari aliansi/komite bersama yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, yakni efektivitas mekanisme internal antara daerah-pusat atau sebaliknya (Walau aneh, seringkali terjadi dimana kesepakatan-kesepakatan di Pusat belum tentu mengikat cabang-cabang). Dalam pandangan kami, Komite Persiapan Pendirian Partai Front ini benar-benar bertindak hanya sebagai Komite Persiapan (teknis) belaka, yakni dengan tugas pokok perluasan organisasi. Secara de jure dan de facto, Komite Persiapan akan bubar setelah Kongres dilangsungkan.
Secara singkat, adapun gambaran tahap-tahap pembangunan Front Persatuan yang kami usulkan adalah sebagai berikut:
a. Pembentukan Panitia Nasional oleh Ormas-Ormas, Parpol dan Individu Pelaksananya adalah individu-individu/organisasi inisiator. Dalam tahap awal Ormas/Parpol/Individu akan mendiskusikan dan memastikan kesamaan pandangan tentang kebutuhan Front Persatuan beserta Platform Politik atau Program Mendesaknya. Seluruh kesepakatan ini akan dituangkan dalam satu Memorandum of Understanding (MoU).
b. Pendirian Komite-Komite Persiapan Ormas ataupun Parpol setingkat nasional yang telah menandatangani Memorandum of Undestanding (MoU) selanjutnya segera mendirikan sebuah Komite Persiapan Pendirian Partai Front). Masing-masing organisasi inisiator merintis pendirian Komite Persiapan di cabangnya masing-masing dengan melakukan konferensi2 gerakan demokratik dan kerakyatan. Tujuan Konferensi ini adalah untuk merekrut kekuatan-kekuatan lain di luar yang sudah terlibat dalam pendirian Komite Persiapan.
c. Deklarasi Komite Persiapan: 23 Juli 2006. Deklarasi bisa berlangsung serentak di Jakarta/Nasional sekaligus daerah-daerah ataupun sendiri-sendiri berdasarkan tingkat kemajuan front di masing-masing daerah tersebut. Sejauh telah memenuhi struktur minimal yang telah ditentukan, Komite Persiapan harus segera dideklarasikan.
Tujuannya adalah paling tidak untuk mengkampanyekan ke hadapan massa luas tentang berdirinya embrio Partai Front kerakyatan. Tujuan maksimalnya adalah sebagai ajang pengujian stuktur mobilisasi.
d. Kongres I: November-Desember 2006. Target utama dari Kongres I adalah konsolidasi untuk pembenahan struktur setingkat nasional. Persoalan platform politik sendiri harus telah dianggap selesai ketika Komite Persiapan dideklarasikan. Penjelasannya adalah: pertama, bahwa pada dasarnya pendirian komite-komite persiapan baik di tingkat nasional ataupun daerah diawali dengan kesepakatan pandangan tentang problem masyarakat Indonesia terkini, dan solusi mengatasinya. Hal tersebut telah dituangkan dalam satu nota kesepakatan bersama. Kedua, bahwa pada dasarnya perluasan Partai Front pasca kesepakatan bersama sebenarnya merupakan bentuk penerimaan massa rakyat non pendiri atas program-program Partai.
Hal-hal lainnya dapat juga diajukan, misalnya proposal tentang bentuk ataupun struktur organisasi (termasuk soal posisi organisasi/individu inisiator).
BAB VII
PENUTUP
Dalam situasi rakyat yang saat ini tidak memiliki alat politik alternatif, penyatuan berbagai organisasi demokratik-kerakyatan dan progresif tentunya akan memberikan harapan baru. Kebuntuan politik liberal yang tidak mampu menyelesaikan persoalan pokok masyarakat kita sekarang ini memang harus segera dihentikan dengan jalan politik demokratik-kerakyatan; dalam segala lapangan politik, baik itu parlementer ataupun non-parlementer. Kelambanan dan kegagalan kekuatan oposisi dalam memenuhinya tentu akan menyeret dan menjerumuskan rakyat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Yang lebih fatal tentu saja jurang apatisme politik. Karena itu, menyatukan kekuatan untuk suatu ‘reformasi total’ yang baru, bagi kami, mutlak merupakan kewajiban historis Partai. Sehingga, tidak salah kalau kami menekankan pekerjaan ini sebagai satu aspek utama dari kerja aliansi ini ke depan.
Baca selengkapnya!