Draft Kerangka Acuan
23 Maret 2006
Latar Belakang
Sudah menjadi kesepakatan umum kiranya bahwa reformasi yang dikendalikan oleh elite politik setelah kejatuhan Soeharto gagal membawa Indonesia pada keadaan lebih baik. Krisis ekonomi, integrasi Indonesia ke dalam tatanan kapitalis global membuat tingkat kesejahteraan semakin merosot. Rezim demi rezim pengganti Orde Baru pun memilih menjadi perpanjangan tangan kepentingan perusahaan multinasional dan lembaga keuangan internasional, dan atas nama ‘pemulihan ekonomi’ menerapkan kebijakan yang justru membuat kehidupan rakyat semakin parah.
Keterbukaan politik yang merupakan pencapaian penting dari gerakan yang menjatuhkan Soeharto tidak dengan sendirinya membuat sistem politik menjadi lebih demokratik, apalagi berpihak pada rakyat. Proses reformasi dibajak oleh elite lama yang membentuk atau bergabung dengan kekuatan politik baru, maupun elite baru yang kepentingan dan orientasinya sama sebangun dengan Orde Baru, yang kemudian melahirkan ‘demokrasi neoliberal’. Kekuasaan militer sementara itu memastikan bahwa keterbukaan politik ini tidak berkembang menjadi gerakan yang bisa mengubah sistem.
Gerakan rakyat yang mencakup partai politik progresif, organisasi massa sektoral dan organisasi non-pemerintah atau LSM sejauh ini belum berhasil menjadi kekuatan alternatif dan memberi jawaban terhadap tumpukan masalah yang dihadapi Indonesia sekarang. Mobilisasi massa melawan ketidakadilan meluas di seluruh negeri, tapi belum berkembang menjadi kekuatan politik yang berarti. Salah satu masalah mendasar di sini adalah ketiadaan tempat bagi berbagai elemen gerakan rakyat ini untuk membahas perbedaan pandangan, strategi, taktik dan masalah keorganisasian.
Usaha memperkuat barisan gerakan rakyat semakin mendesak dirasakan di tengah gempuran modal yang bersekutu dengan kekuatan politik anti-rakyat dan dilindungi oleh militer. Munculnya politik komunal berbasis agama, etnik dan ras dalam beberapa tahun terakhir adalah bukti kegagalan gerakan rakyat untuk memberikan alternatif menghadapi krisis. Kegagalan gerakan rakyat untuk tampil sebagai kekuatan berarti dalam pemilihan umum - sebagai proses politik yang penting dalam sistem demokrasi (neo)-liberal - melempangkan jalan bagi kekuatan politik anti-rakyat untuk menguasai lembaga-lembaga negara.
Bertolak dari pengamatan ini, sejumlah perwakilan partai politik progresif, organisasi massa dan organisasi non-pemerintah serta individu yang berkomitmen pada kemajuan gerakan rakyat, mengambil inisatif untuk menyelenggarakan KONPERENSI PERSATUAN GERAKAN RAKYAT. Dalam dua pertemuan persiapan yang berlangsung di KPP-PRD dan WALHI diputuskan bahwa konperensi tersebut akan diselenggarakan pada 20-21 Mei 2006 di Jakarta. Konperensi akan dihadiri oleh elemen-elemen gerakan rakyat dari seluruh Indonesia dan masyarakat Indonesia di luar negeri.
Tujuan dan Sifat
Dengan latar belakang seperti di atas, para pengambil inisiatif menetapkan tujuan konperensi sebagai berikut:
1. Mempertemukan pemikiran dan pemahaman berbagai elemen gerakan rakyat tentang keadaan Indonesia masakini, agar dapat mengelola perdebatan dan perbedaan padnangan secara positif dalam forum terbuka.
2. Mengidentifikasi masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh gerakan rakyat, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.
3. Menetapkan agenda perjuangan bersama bagi gerakan rakyat
Konperensi ini bukan sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang mengikat peserta melainkan wadah untuk membicarakan pandangan, strategi dan masalah dalam gerakan rakyat. Bagaimanapun, para pengambil inisiatif membuka kemungkinan bagi partai politik progresif, organisasi massa sektoral atau lembaga dan individu lainnya untuk membicarakan kemungkinan memperkuat persatuan dan membuat usulan menuju ke arah itu. Di akhir konperensi para peserta dengan dukungan pimpinan sidang akan mengeluarkan serangkaian resolusi dan pernyataan sikap mengenai berbagai masalah yang dibicarakan selama konperensi.
Kepesertaan
Para peserta konperensi adalah wakil-wakil dari partai politik progresif, organisasi massa sektoral, organisasi non-pemerintah atau LSM dan individu yang terlibat dalam gerakan rakyat di Indonesia.
Tema Konperensi
Ada tiga tema utama yang akan dibahas dalam konperensi: (a) krisis kapitalisme di Indonesia, (b) situasi politik nasional dan (c) masalah yang dihadapi gerakan rakyat. Di samping tiga tema utama ini konperensi juga akan menggelar panel khusus mengenai tantangan politik mendesak, yakni pemilihan umum 2009, yang akan menampilkan wakil-wakil partai dan kekuatan politik progresif yang akan terjun dalam pemilihan umum tersebut.
(a) Krisis, Kapitalisme Global dan Negara
Ada dua hal penting yang dilakukan penguasa Orde Baru di bidang perekonomian saat mulai berkuasa, yakni melancarkan pembunuhan massal terhadap elemen-elemen gerakan rakyat dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi modal internasional. Tindakan itu mengubah watak republik yang semula anti-imperialis menjadi salah satu sekutu modal internasional yang paling penting di Asia. Namun integrasi Indonesia ke dalam tatanan kapitalis global tidak dengan sendirinya berlangsung mulus. Spekulasi, kredit fiktif, produksi berlebih, dan korupsi yang menjadi ciri sistem kapitalis, membuat Indonesia terperosok ke dalam krisis pada 1997-98. Krisis memungkinkan lembaga keuangan internasional, terutama IMF, menggerus sisa-sisa ‘ekonomi nasional’ dan membuat Indonesia menjadi sapi perah bagi modal internasional.
Akibat dari paket ‘reformasi ekonomi’ ini adalah angka pengangguran yang melonjak dari 4,6% pada 1996 menjadi 10,54% pada 2005, ancaman bangkrut bagi banyak industri kecil dan menengah serta konsentrasi modal di tangan konglomerat, inflasi yang konstan pada level dua digit, peningkatan jumlah penduduk miskin, hancurnya sektor perekonomian rakyat, pencabutan subsidi BBM, listrik, gas, air dan telepon, perampasan tanah rakyat, dan impor bahan pangan yang menghancurkan perkehidupan rakyat pedesaan. Kesenjangan pun semakin besar jika melihat pola konsumsi kelas-kelas atas yang ditandai dengan meningkat pesatnya impor mobil mewah dan melesatnya sejumlah pengusaha Indonesia ke daftar orang terkaya di dunia versi Forbes.
Pengalihan aset milik bangsa kepada modal internasional adalah ciri lain dari ‘reformasi ekonomi’ selama beberapa tahun terakhir. Sejumlah besar badan usaha milik negara dan sektor vital yang menurut UUD 1945 dikuasai oleh negara, sudah jatuh ke tangan modal internasional yang bekerjasama dengan kaum birokrat. Gelombang privatisasi ini tidak hanya membuat ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan, tapi juga perampasan hak-hak rakyat yang paling dasar untuk mengendalikan kehidupan ekonominya sendiri. Hal ini dimungkinkan antara lain karena pemerintah, dan dengan sendirinya rakyat Indonesia, menjadi tawanan dari utang luar negeri warisan rezim Soeharto kepada lembaga keuangan internasional dan modal internasional yang bermarkas di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.
Sesi ini akan menganalisis krisis dan kelemahan dari sistem kapitalis serta kebijakan rezim neoliberal yang berkuasa di Indonesia sekarang. Para pembicara dalam sesi ini adalah kalangan akademik dan perwakilan gerakan rakyat.
(b) Situasi politik nasional
Kejatuhan Soeharto membawa perubahan besar, walau tidak mendasar, dalam sistem politik Indonesia. Keterbukaan politik, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta media yang relatif bebas dari tekanan, menjadi tanda hidupnya demokrasi di Indonesia. Pada 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, presiden dipilih langsung melalui pemilihan umu. Bagaimanapun, masih ada sederet masalah yang menghadang tumbuh dan berkembangnya sistem politik yang demokratik, seperti militerisme dan militerisasi kehidupan politik, mengemukanya politik identitas/aliran atau komunalisme, dan kebangkitan elite serta preman politik.
Setelah kemerdekaan Timor Leste dan perdamaian di Aceh, kekerasan militer masih berlanjut di daerah-daerah yang dilanda konflik bersenjata, seperti Papua, Maluku dan Sulawesi Tengah. Militer dan polisi juga masih menjadi alat penguasa untuk meredam protes dan perlawanan terhadap kebijakan pembangunan yang merugikan atau ketidakadilan lainnya. Maraknya kelompok sipil bersenjata seperti milisi dan laskar (kadang dengan bantuan dan dukungan dari militer), sebagai senjata pemukul dan partai, organisasi atau kelompok politik tertentu, menciptakan beragam masalah baru bagi rakyat di banyak daerah.
Politik identitas/aliran atau komunalisme yang dikobarkan antara lain oleh kelompok sipil bersenjata tersebut dalam beberapa tahun terakhir juga makin mengemuka. Kombinasi antara aksi jalanan seperti pemberantasan perdagangan alkohol, prostitusi dan hiburan malam dengan rancangan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, anti pornografi serta peraturan di daerah-daerah yang dikuasai oleh kelompok komunal tersebut, tidak hanya menjadi ancaman bagi kehidupan rakyat, tapi juga sendi-sendi kebangsaan dan prinsip serta nilai dasar republik ini. Lemahnya gerakan progresif yang sekuler menjadi dasar berkembang-biaknya politik identitas atau komunalisme ini.
Dorongan untuk melakukan desentralisasi sebagai jawaban terhadap pemusatan kekuasaan politik di zaman Orde Baru, kini berkembang ke berbagai daerah. Hal yang paling menonjol adalah munculnya elite-elite lokal yang bekerjasama dengan kalangan preman militer dan aparat negara lainnya untuk membentuk oligarki lokal, yang dalam prakteknya adalah political gangsterism. Pembangunan daerah yang diharapkan bisa berkembang penuh dengan dicabutnya kekuasaan pemerintah pusat, ternyata dibajak dalam perjalanan oleh oligarki lokal ini.
Sesi ini akan membahas kecenderungan politik yang muncul di masing-masing wilayah dan sektor untuk mendapatkan gambaran tentang situasi nasional secara menyeluruh. Para pembicara berasal dari kalangan akademik dan perwakilan gerakan rakyat.
(c) Masalah-masalah dalam gerakan rakyat
Gerakan rakyat, terutama pemuda dan mahasiswa, punya andil besar dalam menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Keterbukaan politik kemudian memungkinkan tumbuh pesatnya elemen-elemen gerakan rakyat seperti pemuda, mahasiswa, buruh, petani, nelayan, organisasi sekerja (profesi) serta organisasi berbasis kepentingan lainnya. Namun peningkatan jumlah organisasi ini ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kader, anggota dan massa yang menjadi pendukung utama berbagai elemen gerakan rakyat tersebut. Jumlah organisasi dan anggota yang semakin meningkat ternyata tidak dengan sendirinya memungkinkan gerakan mencapai tujuannya. Apalagi jika melihat kecenderungan membelah-diri dalam gerakan sepertinya lebih cepat dari kemampuan merekrut dan menyerap tenaga baru.
Jika melihat sejarahnya, organisasi gerakan rakyat yang muncul dalam periode pasca-Soeharto sebenarnya merupakan kelanjutan dari gerakan sebelumnya, yang diwarnai konflik ideologi dan politik. Walaupun di atas kertas perbedaan ideologi dan politik justru membuka ruang kerjasama, beban psikologis akibat konflik itu masih terasa dan mewarnai gerakan rakyat sehingga sulit berkembang menjadi kekuatan yang solid. Sekalipun relatif berhasil membangun kerjasama untuk menanggapi dinamika sosial dan politik nasional maupun internasional, kerjasama untuk merawat bangunan konsolidasi masih sering terhambat.
Gerakan sektoral yang berbasis di buruh, petani, nelayan dan kaum miskin kota saat ini sudah berkembang, walau kebanyakan masih berupa gerakan atau kelompok di tingkat lokal yang mengutamakan masalah yang langsung mereka hadapi. Karena inilah seringkali gerakan sektoral ini kesulitan merumuskan prioritas bersama, apalagi membangun kerjasama antarsektor dan lintas organisasi untuk menanggapi perkembangan dunia yang begitu cepat. Di sisi lain sejumlah aktor dalam gerakan rakyat, terutama di kalangan organisasi non-pemerintah, cenderung mengedepankan kerja advokasi kasus dan kebijakan, sehingga agenda konsolidasi dan membangun program bersama menjadi terbengkalai.
Sesi ini akan menghadirkan pembicara dari kalangan praktisi dan pengamat untuk membahas masalah-masalah baik di tingkat prinsip, strategi maupun keorganisasian.
(d) Panel khusus ‘Pemilu 2009: Peluang bagi gerakan rakyat?’
Sejauh ini belum ada pemahaman bersama dan kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan gerakan rakyat ketika menghadapi momentum politik besar seperti pemilihan umum. Hal ini terkait dengan perbedaan persepsi dan pemahaman mengenai watak negara dan strategi politik yang merupakan turunannya. Dalam delapan tahun terakhir ada perkembangan penting di Amerika Latin, ketika kekuatan kiri tampil sebagai pemerintah melalui mekanisme pemilihan umum, seperti di Venezuela, Cile, Brasil dan Bolivia. Rangkaian kemenangan ini menjadi sumber inspirasi dan juga bahan untuk menguji apakah penguasaan lembaga negara dan pemerintah melalui pemilihan umum adalah strategi yang tepat untuk menghadapi masalah ekonomi dan politik dewasa ini.
Di lingkungan gerakan rakyat, terlepas dari setuju-tidaknya terhadap politik pemilihan umum (electoral politics), peristiwa pemilihan umum itu sendiri dianggap sebagai momentum yang penting, dan mendesak setiap elemen untuk mengambil posisi. Pembicaraan yang mendalam mengenai berbagai aspek pemilihan umum serta strategi dan taktik gerakan rakyat menghadapinya semestinya dilakukan sejak awal. Tujuannya bukan untuk menghasilkan keputusan yang mengikat, melainkan membuka ruang diskusi bagi berbagai gagasan dan perspektif yang dapat menjadi bahan bagi gerakan rakyat untuk menilai dan kemudian menentukan posisi dalam pemilihan umum 2009.
Panel khusus ini akan menghadirkan perwakilan partai dan kekuatan politik progresif yang akan terjun dalam pemilihan umum 2009.
Alur Konperensi
20 Mei 2006
21 Mei 2006
22 Mei 200609.00-12.00 Pandangan Umum Sesi II: Situasi Politik Nasional Resolusi Konperensi 12.00-13.00 Makan siang Makan siang Makan siang 13.00-15.00 Sesi I: Krisis, Kapitalisme Neoliberal dan Negara Sesi III: Masalah-masalah dalam Gerakan Rakyat Deklarasi dan Mobilisasi (di tempat berbeda) 15.00-15.30 Rehat Rehat --- 15.30-18.00 Sesi I: Krisis, Kapitalisme Neoliberal dan Negara Sesi III: Masalah-masalah dalam Gerakan Rakyat --- 18.00-19.00 Makan Malam Makan Malam --- 19.00-21.00 Sesi II: Situasi Politik Nasional Panel Khusus: Pemilu 2009: Potensi Bagi Gerakan Rakyat? ---
Peserta Konperensi
Konperensi ini terbuka bagi seluruh unsur gerakan rakyat, yakni partai politik progresif, organisasi massa, organisasi non-pemerintah (NGO atau LSM), individu yang bersepakat menentang penindasan kapitalisme dan imperialisme. Namun, karena keterbatasan tempat, logistik dan dana, maka panitia terpaksa membatasi jumlah peserta menjadi sekitar 500 orang. Perwakilan dari daerah-daerah diharapkan berimbang, dengan perkiraan 20 wakil dari masing-masing propinsi di Jawa dan bagian selatan Sumatera, serta 10 wakil dari masing-masing propinsi di luar Jawa dan bagian selatan Sumatera.
Proses penentuan peserta akan dilakukan di masing-masing propinsi oleh cabang atau jaringan organisasi dan individu yang mengambil inisiatif ini (lihat daftar panitia di bawah). Pimpinan nasional dari masing-masing organisasi yang mengambil inisiatif konperensi ini akan segera menginstruksikan cabang-cabangnya di wilayah untuk membentuk panitia bersama di tingkat daerah, yang akan menjalankan proses penentuan peserta. Panitia bersama di tingkat daerah ini juga diharapkan dapat melibatkan kelompok atau unsur gerakan rakyat untuk membahas dan mendiskusikan agenda dan tema konperensi.
Peserta perorangan dari kalangan akademik, seniman, rohaniwan, atau tokoh masyarakat yang dianggap kompeten dapat menghadiri konperensi atas rekomendasi, undangan dan seleksi yang dilakukan oleh pleno panitia konperensi.
Panitia Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat (masih bisa bertambah)
29.4.06
Konperensi Persatuan Gerakan Rakyat
Waktu/Hari
Hari I
Hari II
Hari III
Posted by Unknown at 10:11 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment