3.5.06

Beberapa Gagasan Tentang Persatuan Gerakan

Wilson

Ketika bertemu dengan Joel Rocamora beberapa tahun lalu, mantan pimpinan Akbayan dari Filipina, dengan bergurau mengatakan, "gerakan kiri di Filipina suatu saat akan sebesar amuba, sehingga butuh mikroskop untuk melihatnya." Perumpamaan ini merupakan ekspresi dari kegalauannya melihat fragmentasi di kalangan gerakan kiri Filipina, sehingga transisi demokrasi yang mereka pimpin dimasa awal penggulingan Marcos pada 1986, kini hanya mereka nikmati dari pinggiran arena politik.

Untunglah ketika bertemu kembali akhir tahun lalu di Praxis, guruaun itu sudah berlalu. Joel dengan bangga menceritakan keberhasilan Akbayan 'menyatukan' berbagai blok kiri di Filipina dan para aktivis 'kaum independen.' Bahkan Akbayan berhasil merebut posisi 50 walikota di Filipina dan mulai menjalankan suatu perencanaan partisipatoris dalam pembangunan di tiap distrik yang dikuasai Akbayan. Proyek ini terinspirasi dari model sukses anggaran partisipatoris di Porto Alegre, Brazil, yang dimotori oleh Partai Buruh Brazil.

Di Indonesia, delapan tahun proses transisi demokrasi seperti mengulang kisah lama di Filipina. Fragmentasi di dalam maupun di antara berbagai gerakan kiri sudah merupakan kenyataan. Namun di luar itu, di lingkungan gerakan sosial yang ada, khususnya di perburuhan dan gerakan tani (terutama di wilayah seperti Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah), justru mengalami kemajuan secara kuantitatif dan kualitatif. Proses regrouping juga terjadi di dalam gerakan, seperti yang terjadi dalam pembentukan PRP, KASBI, PI dan PPR .

Kemajuan-kemajuan juga tampak nyata dari kemunculan blok-blok politik kiri yang baru, di luar lingkaran tradisi 'kiri' PRD yang lebih awal muncul. Blok-blok kiri ini bermunculan dalam berbagai gerakan sosial sektoral tradisional, seperti serikat buruh, serikat mahasiswa, serikat tani, serikat kaum miskin kota, gerakan budaya maupun gerakan-gerakan sosial baru seperti lingkungan, masyarakat adat , feminisme, gerakan korban pelanggaran ham, gerakan kaum gay dan agama pembebasan. Belum lagi, jika ditambahkan dengan alumnus gerakan kiri yang bertebaran sebagai 'kaum independen' dan memegang posisi penting di LSM, jurnalisme, sastrawan, kampus dan lembaga kajian, pembuat film, programer radio, asosiasi pengacara kerakyatan, bahkan menjadi wiraswasta.

Beberapa mantan aktivis gerakan kiri juga masuk ke dalam partai-partai mainstream yang ada seperti, PDIP, PAN, PKB, bahkan yang paling baru ke dalam Partai Bintang Reformasi (PBR). Beberapa jaringan gerakan rakyat progresif di beberapa kota, juga telah mengonsolidasikan dirinya ke dalam Partai Pergerakan Rakyat (PPR).

Seluruh penggambaran di atas menunjukkan, orang-orang kiri, baik yang bernaung di bawah payung sebuah organisasi kiri yang lebih ideologis, terlibat dalam gerakan sosial, maupun yang bertebaran 'sebagai kaum independen,' merupakan basis material yang nyata, yang di depan mata kita, yang sebetulnya memberikan harapan baru, bahwa kaum kiri itu sebenarnya tidak semakin mengkerut, tapi semakin tersebar dan masuk ke berbagai 'lini' baik dengan motif 'ideologis' ataupun dalam kerangka mengembangkan profesionalisme dan karir.

Pertanyaanya, dengan sedemikian banyak dan tersebarnya 'potensi-potensi' kemajuan gerakan yang ada, bagaimana cara mengikat semua 'bintang-bintang merah yang bertebaran tersebut' menjadi suatu energi dan sinergi gerakan yang meluas, partisipatoris, inklusif, pluralis tapi tetap pada garis komitmen kerakyatan, keadilan sosial dan demokrasi sejati?

Tentu saja kemudian kita akan bicara soal organisasi perjuangan macam apa yang cocok ditahap awal untuk dapat mengakomodasi demikian banyak blok, individu dan 'tendensi ideologi kiri ' yang sudah ada tersebut. Saya sendiri berpikir, konsep sebuah organsisi dengan ideologi monolit yang 'formal' seperti organisasi kiri tipe lama, sudah saatnya mulai kita tanggalkan. Organisasi 'kiri tipe baru' yang saya bayangkan adalah sebuah 'koalisi luas' berbentuk PARTAI, tapi dengan otonomi luas kepada setiap blok politik yang terlibat di dalamnya. Jadi, setiap gerakan sosial, individu dan blok politik yang terlibat di dalamnya, tidak perlu kuatir, partai yang mereka bentuk akan membatasi, mengamputasi, mengurangi atau akan mengeliminir apa yang sedang mereka kerjakan.

Dengan otonomi luas yang tetap diberikan maka level pimpinan di tingkat pusat partai hanyalah 'mandataris' dari berbagai komponen yang ada. Mandataris ini hanya mempunyai wewenang dalam lingkup 'kepemimpinan ideologis dan politik,' tapi tidak dapat melakukan intervensi pada level organisasi yang mendukung partai, kecuali pada 'common platform' yang telah disepakati menjadi 'progam bersama' atau 'strategi bersama' oleh 'koalisis luas' yang mendukung partai ini.

Titik temu atau 'common platform' dari semua 'blok'; atau komponen di dalam partai tersebut adalah pada 'strategi/proyek politik bersama' dalam pertarungan elektoral dan memenangkan program 'anggaran partisipatoris' dengan berbasis pada perebutan kekuasaan politik distrik/kabupaten/walikota dengan memanfaatkan sistem pemilu langsung. Pada level 'common platform,' saya mengusulkan program-program yang lebih menitikberatkan pada 'platform sosial-ekonomis' yang merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat seperti kesehatan, pendidikan, pengupahan, perumahan untuk rakyat miskin, tanah untuk penggarap dll.

Pada level 'common strategy' saya mengusulkan agar partai ini mengambil peranan, responsif dan terlibat dalam politik elektoral yang berlangsung atau akan berlangsung. Bila partai yang isinya adalah 'koalisi kerakyatan' ini memang disepakati, maka momentum elektoral 2009 adalah sasaran yang harus dicapai dan direspon. Karena itu strategi elektoral ini harus melibatkan semua komponen yang mendukung pembentukan partai sebagai 'PEKERJAAN POLITIK BERSAMA"

Pada level " programatik' saya mengusulkan dibuat sebuah 'PROGRAM ALTERNATIF' yang menunjukkan perbedan antara 'KITA' dengan partai mainstream yang ada. Program alternatif yang saya bayangkan adalah semacam proyek "Anggaran Partisipatoris" semacam di Porto Alegre yang disesuaikan dengan kondisi obyektif dan subyektif di Indonesia.

Catatan perlu saya berikan untuk gagasan menfasilitasi 'kaum independen' ini. Kaum independen yang saya maksud adalah para aktivis yang dulunya anggota, pendukung, simpatisan gerakan rakyat/gerakan progresif/gerakan kiri, tapi kemudian karena tuntutan profesional atau karena merasa 'tidak cocok' dengan berbagai organisasi yang ada lantas lebih menyibukkan dirinya pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, yang juga strategis. Kaum independen ini muak melihat rejim yang korup. kemiskinan yang semakin luas, pelanggaran HAM yang meluas dan ketidakbecusan yang terjadi dalam parlemen serta parpol mainstream. Kemuakan ini sayangnya tidak terfasilitasi, karena mereka melihat tidak ada 'gerakan politik alternatif' yang potensial. Gagasan pembentukan Pergerakan Indonesia (PI) sebetulnya sudah mirip dengan ide saya ini. tapi setelah 'komandan-nya' Budiman pergi, juga Martin, JEK dan Reza saya melihat PI kok agak menurun semangatnya. (Gimana ini Martin lu tanggung jawab juga nekh, jangan involutif gitu dong !)

Banyak kaum independen ini bekerja di lingkungan jurnalistik, menjadi akademisi, aktif di lembaga kajian/riset, menjadi sastrawan/seniman, pembuat film, aktif di LSM, menjadi pengacara dll., tetapi, masih mempunyai komitmen dan rasa simpati yang dalam pada gerakan kerakyatan. Orang-orang ini menjadi penting karena jaringanya yang luas baik di level lokal, nasional maupun internasional, aksesnya ke berbagai institusi dan sumber informasi, bahkan ke berbagai institusi pengambil kebijakan yang strategis. Kaum independen ini harus mengonsolidasikan dirinya dalam bentuk kaukus di level distrik/kabupaten/kota. Kaukus ini nantinya akan memilih perwakilannya sendiri yang diberi mandat untuk terlibat dalam pekerjaan organisasi.

Untuk tahap awal pembentukan partai kerakyatan tipe baru ini, maka partisipasi seluas-luasnya harus diberikan kepada berbagai komponen gerakan untuk memberikan sumbangan, terlibat dan memasukkan pikiran-pikiranya yang konstruktif. Untuk itu sebuah proses sosialisasi yang berkelanjutan, militan, efektif, komunikatif, dan telaten harus dilakukan. Bahkan pada kelompok-kelompok kiri yan 'tidak setuju' sekalipun dengan ide ini patut disosialisasikan.

Untuk proses sosialisai ini agar terbuka dan melibatkan banyak pihak, saya berpikir untuk membuat sebuah TERBITAN BERSAMA yang FOKUS berisi pada gagasan dan perdebatan soal pentignya membuat persatuan yang bukan persatean. Terbitan ini didistribusikan oleh tiap komponen yang mendukung gagasan ini, serta berbagai kelompok sosial dan gerakan yang dianggap potensial untuk mendukungnya.

10 comments:

Unknown said...

Wilson!

Daku tidak pergi dari Pergerakan Indonesia, tapi lagi non-aktif karena sekolah di tempat jauh ini. Sampai saat ini, Jakobus (JEK) dan Reza juga, setahuku, masih di PI.

Tunggal Pawestri said...

Date: Thu, 3 Nov 2005
13:19:06 +0800 (PHT)
Subject:
Re: question
From: "Joel Rocamora"
To: "Tunggal Pawestri"

Hi Tunggal,
You are right, the disunity of the Left is one of the reasons
why Arroyo remains in office. But the founding of the Laban nang Massa
(Struggle of the Masses) in the midst of the anti-Arroyo struggle
is an important development. LnM unites all of the Left groups
outside of the Maoist Communist Party of the Philippines
. joel
----
hehe, kalo nyatuin yang kiri-kiri sosdem kayaknya emang gampang ya....

Anonymous said...

Tunggal yang baik,

Cobalah kalo berkomentar kasih sedikit argumen. Pernyataanmu ini sinis banget, sangat tidak argumentatif. Kecuali memang argumentasi sudah tak lagi dibutuhkan, maka blog ini bukan tempatnya.

Salam,
-C

Anonymous said...

Tunggal dan Coen,

Kalau aku malah berharap LnM ini, yang awalnya adalah sebuah 'front kiri' untuk merespon momentum "krisis politik rejim Arroyo" dapat didorong lebih maju lagi, yaitu menjadi suatu 'partai kiri' yang dapat menggabungkan berbagai blok kiri di Filipina, paling tidak yang masuk didalam front ini. (Tentu saja harapan terbesarku adalah Akbayan dan Sanlakas bisa melakukan kerjasama..........)

Tentu saja pengetahuanku tentang Filipina tidak sebanyak Tunggal yang katanya sering woro-wiri kesana dulu. Kalau Tunggal mendefinisikan Akbayan sebagai "sosdem", maka aku menduga-duga, dia pasti bukan diposisi CPP, pastilah dia ada dipihak Sanlakas......Kalau CPP ngak mungkin layauw....sebab PRD kan berposisi juga berseberangan dengan CPP yang ultra kiri dan maois itu....dan PRD kan lebih deket dengan Sanlakas (masih nggak?) .

Aku tidak berpretensi untuk membenarkan salah satunya antara Sanlakas dan AKbayan. Aku hanya bicara, bagaimana kita belajar dari 'gerakan kiri lainya' untuk dapat mengatasi "soal fragmentasi" dan Akbayan, juga Sanlakas, dapat menjadi pembelajaran bagi kita. (Gimana kalu Tunggal nulis tentang Sanlakas atau LnM?)

LnM (Laban nang Massa) atau (Struggle of the Masses) adalah suatu 'Front-kiri" dimana AKbayan salah satu komponen didalamnya, juga Sanlakas.. Kemunculan front ini berkaitan dengan krisis politik rejim Aroyo yang dimulai sejak awal tahun 2005, dan mencapai puncak dengan pengunduran diri 7 orang mentri kabinetnya. Pada saat yang sama munculah gerakan massa menuntut pres Arroyo mengundurkan diri. Dalam momentum 'krisis politik' ini, agar tidak dicuri oleh 'oposisi liberal' yang oportunis (cukup sekali tahun 1986, dong dicurinya..) maka bebagai blok kiri yang ada, kecuali kaum Maois dalam CPP (partai Komunis Filipina) membuat Laban nang Massa (Perjuangan Massa). Front ini di deklarasikan pada tanggal 29 Juni 2005, ketika krisis politik atas rejim Arroyo sedang memuncak. Masuk dalam front ini, kebanyakan adalah berbagai blok Kaum Rejeksionis yang keluar dari CPP di awal tahun 1990-an, Sanlakas, Akbayan (Citizens Action Party)dan berbagai grup kiri independen lainnya. Hal paling mengembirakan dalam front ini menurutku adalah bertemunya AKBAYAN dan SANLAKAS dalam proyek politik bersama merespon krisis politik rejim Arroyo. Meskipun kita patut gembira dengan LnM, namun tampaknya menurut pak Joel " perbedaan ideologis diantara mereka masih terasa lebar".


PS:

Coen, cara masukin komen ke indoprogres gimana, kok aku masukin ditolak terus....jadi kirim via email nekh, tolong di masukin ya...ke koment atas kaum dna tunggal

Anonymous said...

Dari Tunggal Pawestri

pontoh:
Cobalah kalo berkomentar kasih sedikit argumen. Pernyataanmu ini sinis banget, sangat tidak argumentatif. Kecuali memang argumentasi sudah tak lagi dibutuhkan, maka blog ini bukan tempatnya.

coen...
waks...:-D
gue sinis ya?...
kalau tidak argumentatif mungkin betul, tp klo ini terkesan sinis saya malah baru tahu heheh
aku juga protes....yang lain juga sering komentar gak mutu dan gak argumentatif, tapi gak kau komentari sedahsyat ini,
jadi ngeri utk ksh komentar lagi....:-)

Wilson,
pengetahuanku mungkin jauh tertinggal dibawahmu soal gerakan di filipina akhir-akhir ini,
makanya, aku banyak nyereweti joel...nanyaaaa mulu....
Elu betul, LnM emang jadi satu langkah maju bagi upaya memersatukan gerakan kiri di Phil. Sanlakas dan Akbayan bisa satu front, tapi sesungguhnya, menurut djorina velasco (dosen ateneo, mantan kord divisi demwatch IPD) memang gak pernah ada problem pertentangan ideologi yang tajam(agaknya cuma beda taktik aja) antara Sanlakas dan Akbayan. Sebelumnya, untuk beberapa program tertentu, mereka masih sering ketemu dan bekerja sama.
Untuk aksi 1 mei, selalu aksi besar bersama kok....bahkan jg gabung ama bayan muna cs (partai-nya CPP).
agak aneh memang...

PRD
terakhir IPD (baca: akbayan) bikin acara regional utk seminar perkembangan partai/gerakan kiri, mrk minta assesment gw soal PRD....dan akhirnya PRD diundang.
Kalo PRD ama sanlakas? wah itu sih karena DSP aja...
dan apa yang satu lingkaran ama DSP, pasti jadi satu lingkaran juga khan ama PRD :-p (heran gue..)
tapi kayaknya gak pernah tuh bikin hubungan langsung ama sanlakas,
malah terakhir ama akbayan,

gue nulis soal Sanlakas / LnM?
wah...nyerah deh...ngurusi satu bupati banyuwangi ini aja pyuuusing...
yang jelas....klo dah pada makin tua, pada semakin bijak kok heheeheh

salam
tp

Anonymous said...

DAri Wilson Lagi,


he..he..he.....si coen ini kan sudah lama di amrik, jadi nggak biasa dengan sinisme ala tunggal..he..he..he... cool man..........

soal filipina, juga sebetulnya gue nggak tau banyak, soal LnM ini sudah diintrodusir oleh Joel akhir tahun lalu ketika kita diskusi di praxis soal Akbayan.......jadi sekedar review dari dia yang guah tangkep...tau kalo orang len nangkepnya juga laen... he..he..he.

Soal blok kiri di filipina ini memang agak rumit dan kadang buat frustasi.......karena itu upaya penyatuan atau regrouping selalu menjadi momentum penting dan sangat berharga.....juga memberikan inspirasi ...............sebab soal penyatuan atau front ini kadang hanya manis dibibir dan diatas kertas, tapi sangat sulit dalam praktek.................entah kenapa yaaa

Kalau sanlakas dan akbayan gabung 1 mei, itukan cuma urusan seremonial doang, bukan kerjasama politik yang kongrit dan berkelanjutan.......gitu lho.......


Kita liat aja apakah LnM bisa lahir menjadi kualitatif yang lebih tinggi lagi..... atau ....dia segitu-gitu aja......................sebagai front merespon momentum politik................ketika momentumnya lewat, maka front akan jadi pepesan kosong lagi....semua sibuk sendiri-sendiri lagi..................Tapi dari filipina kita patut belajar banyak mengatasi fragmentasi, sejauh ini Akbayan yang paling berhasil menurutku, tau menurut orang laen.....

soal DSP, kan udakah nggak jadi partai lagi setelah gabung ke SA tapi jadi satu tendensi disana, P-nya jadi P-respective...nggak tau juga nekh kabarnya, walaupun kadang iseng gua buka GL...... Tapi SA juga memberi inspirasi dalam mengatasi fragmentasi kiri.......................meskipun gerakannya kecil coi..................


salam

wilson

Anonymous said...

Buat Tunggal yang baik,

Maaf ya kalau aku terkesan keras. Komentarmu soal Sosdem itu buat gua mmg problem besar. Menurut gua, kita gak perlu lagi terjebak pada tuduhan-tuduhan lama itu, krn sang "penuduh" maupun sang "tertuduh" toh sama-sama menunjukkan wajah yang kalah dan karena itu gagal.

Sosdem, leninis, trotskys, maois, marxisme-leninisme-maoisme atau stalinisme atau apalah, haruslah dipandang sebagai buku sejarah, tempat kita belajar filsafatnya, politiknya, dan strategi kebudayaannya.

Mengikatkan diri pada satu aliran itu secara ketat, tentu saja ahistoris, dan artinya juga kita melibatkan diri ke dalam siklus kekalahan yang mengerikan. Belajar secara kritis dari tradisi lama, generasi kiri yang ada skarang ini, harus membentuk sejarahnya sendiri. Harus mau ke luar dari siklus tuduh-menuduh tanpa henti itu.

Sekali lagi maaf jika aku terlalu keras.
---------------

Buat Wilson,
Pada 2004, atas ijin IGJ (Institute for Global Justice), gua pernah ikut pertemuan yang digelar oleh gerakan antiglobalisasi di Bangkok, dengan Fokus on the Global South, bertindak hostnya.

Peserta paling banyak adalah dari Filipina, dan yang gua liat semua mereka adalah singa-singa podium, hehehe. Mereka mengutarakan hal yang sama, rakyat yang makin tertindas akibat neoliberalisme. Tapi, mereka sebenarnya adalah kelompok-kelompok kecil. Ada salah satu peserta yang disegani yakni, dari KCTU Korea, karena inilah peserta pertemuan itu yang paling besar secara organisasi.

DAri beberapa perbincangan di sana, gua menangkap kesan, sulitnya koalisi atau aliansi dibangun secara lebih permanen, karena kelompok-kelompok yang mau bergabung itu kecil-kecil. . Karena sama-sama kecil, eksistensi lembaga atau personalnya lebih tampak, makanya koalisi sang kecil ini mudah goyah, retak, hingga akhirnya bubar. Tak ada satu organisasi yang bisa menjadi tulang punggu aliansi itu.

Jadi gua pikir, masalahnya bukan lebih pada soal teori atau strategi dan taktik tapi, pada masalah organisasi. Masak sesama orang kecil saling mendahului?

Salam,
-C

Anonymous said...

Coen dan Wilson,

Mau komentar sedikit tentang Sanlakas dan Akbayan. Jelas ada perbedaan tradisi ideologi antara Sanlakas dan Akbayan. Sanlakas sebenarnya bukan murni partai politik, tapi sebuah projek aliansi elektoral urban (terutama di Manila NCR) yang juga berfokus pada kelompok2 miskin kota, pemuda (juga mahasiswa), dan juga perempuan. Saudara kembar Sanlakas di tingkat elektoral adalah PM (Partido ng Manggagawa, Workers Party) yang sehari-hari adalah serikat buruh bernama BMP (Bukluran Manggagawa ng Philipinas). Sanlakas dan BMP-PM sebenarnya adalah organisasi front dari sebuah partai kiri bawah tanah, kelompok rejectionists yang dipimpin oleh Filemon "Ka Popoy" Lagman (bekas ketua Komite Regional Jose Rizal CPP di Manila NCR). Nama partainya PMP (Partido ng Manggagawa ng Philipinas) kalau ti

Perkembangan terakhir pada tahun 2002, PMP bermerger dengan dua kekuatan politik lainnya. Socialist Workers Party (SPP - dipimpin Sony Melencio) dan Proletarian Democratic Party (PPD). Partai hasil merger ini dinamakan PMP-Merger. Prosesnya cukup panjang untuk mencapai merger, dimulai dari penyatuan Komite2 Sentral masing2 organisasi. Tapi secara umum, tidak begitu banyak terhambat, karena rata2 pimpinannya "kawan lama", alumni CPP. SPP malah adalah pecahan PMP (lama).

Mengenai Akbayan, gue rasa cukup jelas dituliskan Wilson.

Dalam konteks gerakan kiri Indonesia, sebenarnya proses regroupment PMP-Merger bisa lebih dijadikan contoh dibandingkan Akbayan dan LnM. Tulisan mengenai regroupment PMP kalau tidak salah pernah dimuat di Links.

Tentunya harus juga diingat adanya bermacam-macam bentuk partai politik, khususnya untuk kaum kiri. Kerjasama Sanlakas dan Akbayan, misalnya tidak bisa dilihat soal kerja sama sebatas dua organisasi itu. Lebih tepat disebut kerjasama Akbayan dan PMP-Merger. Dan bisa dipastikan, organisasi2 yang tergabung di dalam LnM juga akan ada BMP, PM, dsb.

Anonymous said...

Coy yang baik,
Gua sedang menulis (belum selesai sih), ttg bagaimana Partai Buruh Brazil, di bangun. Gua sangat tertarik dengan proses-proses awal pembentukan ini, bagaimana harus membangun partai (berhadapan dengan tradisi ideologi dan strategi-taktik yang sudah berurat-akar, bagaimana menghadapi patron-klien, bagaimana menghadapi faksionalisasi); bagaimana hubungan partai dengan ormas; dan bagaimana partai kiri menempatkan diri dalam hegemoni demokrasi elektoral.

Satu hal yang gua bisa tarik kesimpulan awal, PT bisa tegak dan berjln karena ada backbone yang sangat kuat yakni Serikat Buruh Baja (CUT) terutama di wilayah yang disebut wilayah ABCD. Selanjutnya, backbone yang lain adalah MST. Jgn lupa CUT SB terbesar di dunia dan MST adalah gerakan tani tak bertanah yang juga terbesar di dunia.

Gua rasa tanpa kedua ormas ini, PT belum tentu bisa sukses.

Nah, menurut gua sebuah koalisi kalo dimulai dari membincangkan soal ideologi, bakalan repot. Yang terjadi malah "pemurnian" ideologi, hahahaha.

Salam,
-C

Anonymous said...

Halo IndoProgress?
Saya mau tanya yach?, tentang gerakan sosial...
Apakah gerakan sosial itu memungkinkan untuk melakukan usaha perebutan kekuasaan baik dengan cara2 demokratis atau diluar itu?
Kemudian, kira2 apa yang menjadi indikator di perlukannya sebuah partai Building dalam kondisi saat ini di Indonesia?

Terima Kasih Sebelumnya
SaLam Jabat Erat Luna Maya s'lalu :)