30.5.06

Ikatan Baru Pasca Keterpisahan yang Usang

--Tanggapan untuk Proposal Konperensi Persatuan Gerakan Rakyat

Saiful Haq

Perdebatan tentang kebutuhan dibentuknya sebuah front politik sebenarnya bukan hal baru. Beberapa konsep serupa sudah pernah diinisiasi kawan-kawan yang lain seperti unifikasi yang melahirkan PRP, front yang membidani lahirnya PPR, kerja-kerja sektor sayap politik Walhi, serta pertemuan yang difasilitasi Yapika beberapa waktu silam. Semuanya berbicara tentang kemungkinan adanya ikatan bersama. Dalam hal ikatan ini, saya ingin mengutip apa yang pernah ditulis oleh Almarhum Munir “sekaranglah saatnya orang membangun ritme yang baru, dan kita akan berdiskusi tentang ikatan-ikatan yang baru, meskipun harus diawali dengan keterpisahan-keterpisahan, yang bukan hanya sekedar wilayah tapi juga rasa”.

Sudah saatnya memang kita menimba pengalaman dari keterpisahan-keterpisahan kita di masa lalu, belajar dari kemalu-malu kucingan kita berpolitik, belajar dari keterpurukan demi keterpurukan yang bukan tidak mungkin kita ciptakan sendiri. Bukanlah sebuah kerinduan berlebihan jika saya mengatakan, sudah saatnya peristiwa kegagalan demi kegagalan harus kita tebus dengan bersungguh-bersungguh menyusun ritme baru yang menjanjikan kemenangan bersama.

Hadirnya proposal yang diinisisasi kawan-kawan ini menurut saya, adalah awal yang baik untuk memulai membangun ikatan-ikatan baru yang dimaksud Almarhum Munir. Sudah saatnya kita belajar dari keberhasilan MST di Brazil, EZLN di Mexico, FOIN di Ekuador, NBA di India, AOP di Thailand dan Akbayan di Philipina. Telah banyak referensi tempat kita berkaca: dari kasus 27 Juli 1996, SMID hingga PRD, berbagai kasus agraria dan lingkungan, kasus Marsinah, penghilangan paksa hingga pembunuhan Munir. Sekaranglah waktunya berkata: Cukup Sudah!!

Pada setiap perubahan yang terjadi di negeri ini, kita sekadar jadi penonton kesepian yang lesu darah dari tepi lapangan. Soalnya bukan hanya kita tak lagi keras berteriak tapi, juga telah kehabisan kata-kata. Semua sudah kita bicarakan, hasilnya yang tak kunjung tiba. Cita-cita keadilan luhur yang kita anut hanya sejauh kolom-kolom di surat kabar, pamflet dan poster-poster yang ketika musim hujan tiba memudar dan hilang entah kemana.

Kita semua tahu, setiap perubahan akan melahirkan kegelisahan baru. Menguatnya rezim Militer–Borjuasi SBY-Kalla, melemahnya tekanan dari para politisi di Senayan, menguatnya kelompok kanan dengan isu-isu anti demokrasi, kian menambah besar kegelisahan kita. Kegelisahan itu semakin menguat ketika pikiran kita dihadapkan pada pilihan tentang apa yang ingin kita kerjakan di satu sisi, dengan ketersediaan energi politik yang kita miliki untuk mengerjakan semua yang kita inginkan, di sisi lain.

Saling mencurigai, saling intrik dan perpecahan tak berkesudahan, menjadi wajah terluar dari kegelisahan itu. Harapan terbaiknya, pasca kegelisahan itu akan muncul sebuah harapan dan refleksi bersama, refleksi yang lahir dari kesadaran bahwa di setiap helaan nafas ternyata bayangan kekuatan status quo selalu mengancam. Kelelahan terhadap kebuntuan gerakan non partisan membawa angin refleksi itu semakin menguat. Saya berharap Proposal ini adalah bentuk dari kebutuhan refleksi tersebut. Sebab menurut saya, mencairkan kegelisahan-kegelisahan yang ada menjadi sangat penting, dimana kepercayaan dan persatuan menjadi prasyarat dimulainya suatu ikatan baru yang saya yakin kita semua sedang menunggunya.

Pertanyaan berikutnya, pasca mencairnya kegelisahan-kegelisahan itu, seberapa besar energi yang kita punya? Mampukah energi itu mengalahkan energi politik kalangan militer, pengusaha, dan agen-agen modal internasional? Menurut saya, satu hal yang perlu ditekankan, bagaimanapun politik adalah pertarungan kekuatan. Kekuatan politik adalah kekuatan mobilisasi massa, sebab di era demokrasi kemenangan dihitung di atas kertas-kertas suara dan tekanan-tekanan massa yang sadar. Menyitir Tsun Tzu, memilih kapan waktu peperangan yang sesungguhnya dimulai adalah hal yang penting dalam strategi memenangkan pertarungan. Berkaitan dengannya, saya ingin mengatakan bahwa saya setuju jika pertemuan itu harus diarahkan kepada terbetuknya Front Polititk yang berwatak Partisan dengan memperhatikan hal berikut: pertama, jika kita belum yakin bisa memenangkan pertarungan di pemilu 2009, sebaiknya Front Politik ini diarahkan pada watak oposisi yang massif sebagaimana Hizbut Tahrir Indonesia membangun gerakannya, sehingga momentum 2009 jangan langsung dipakai untuk bertarung tapi lebih digunakan sebagai momentum konsolidasi front; kedua, jika kita yakin dapat menang atau paling tidak masuk lima besar di Pemilu 2009, saya mengusulkan untuk membuat mekanisme partai dimana setiap orang punya akses kontrol maupun partisipasi yang dijamin oleh partai, sehingga siapapun yang duduk nantinya tetap memiliki legitimasi sekaligus mekanisme pertanggungjawaban pada konstituen massa.

Dalam membangun Front Politik tersebut, meminjam istilah Yuang Wang dkk. tentang strategi enam P di Cina, mungkin hal ini juga berguna untuk menyusun kekuatan, peran dan posisi kita ke depan. Enam “P” yang dimaksud adalah Patience (kesabaran); dalam mengamati perubahan yang terjadi diperlukan kesabaran dan ketenangan, analisa kondisi yang obyektif serta membuat keputusan yang tepat, kesabaran dalam mengorganisir, sabar dalam usaha menjahit kembali benang-benang persatuan antara para pendukung gerakan rakyat, kesabaran dalam melakukan pendidikan serta kerja-kerja front, serta bersabar untuk selalu hadir dalam setiap momentum nasional, bukan hanya dalam momentum politik tapi juga bencana dan setiap momentum dimana massa sedang membutuhkan kehadiran kita. Power (kekuatan); membina kekuatan bukan hanya dalam artian jumlah massa tapi kesadaran dan berbagai parameter kualitatif yang lain, termasuk faktor kesejahteraan konstituen massa juga menjadi sebuah tanggungjawab utama bagi kita. Konsolidasi dan pembangunan kapasitas harus menjadi target menuju pengerahan kekuatan yang sesungguhnya, memenangkan setiap momentum kecil akan membawa kita pada keyakinan untuk memenangkan pertarungan yang lebih besar. Predispotition (mengetahui posisi kita); dalam hal ini harus mengenal betul satu persatu aktor dan gejala yang sedang bermain di tengah perubahan ini. Dengan posisi yang tepat akan membawa kita sebagai pihak yang diuntungkan oleh perubahan. Dalam hal ini kerja-kerja para intelektual harus benar-benar bersinergi dengan kekuatan di basis massa sehingga dapat melahirkan sebuah analisa situasi politik yang lengkap disertai kemungkinan perlakuan dan posisi yang berbeda di setiap daerah. Personnel (sumber daya manusia); hal ini tentu saja selalu berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Selain itu kapasitas individu juga sangat menentukan kapasitas organisasi, demikian juga faktor kepemimpinan dalam organisasi menjadi salah satu faktor startegis dalam mengawal agenda-agenda capaciity building. Protection; strategi gerakan yang efektif dan terbuka akan membawa rasa aman bagi siapa saja yang ikut bergabung ataupun yang belum bergabung dalam front yang sedang dibangun. Partai Keadilan dalam mengawali gerakannya selalu menampakkan wajahnya yang teduh dan melindungi, mereka selalu hadir di setiap tragedi nasional maupun yang skalanya lebih kecil, setiap aksinya massif namun tidak memacetkan jalan dan menyisakan sampah, tak lupa pula mereka sebarkan selebaran permohonan maaf atas aksi yang kemungkinan mengganggu pemakai jalan. Menurut saya, hal ini adalah salah satu cara kampanye yang efektif dan juga tidak terkesan lips service tapi, konkrit dan mengayomi sekaligus menjawab persoalan keseharian rakyat. Yang terakhir adalah perspective (perspektif); kita butuh tujuan politik yang jelas (clear political aim) untuk mampu bergerak lebih maju. Dalam hal ini konsep, program atau blue print kita tentang ekonomi, politik, hubungan luar negeri, kemiskinan, pertahanan, penegakan hukum, korupsi serta masalah lainnya harus disiapkan dan dibuka seluas-luasnya pada masyarakat. Program-program ini nantinya menjadi basis bagi kontrak sosial front politik ini, tidak hanya pada anggota front tapi, pada seluruh rakyat Indonesia.

Memang tidak mudah untuk mulai merangkai kembali serpihan-serpihan keterpisahan itu. Kita juga butuh energi baru yang bukan merupakan bagian dari keterpisahan masa lalu, orang-orang yang tidak punya kaitan dengan keretakan politik usang tapi punya komitmen untuk memulai sesuatu yang lebih baik. Sejarah kejayaan tidaklah jatuh dari langit, tidak juga karena peristiwa besar yang dilakukan oleh orang berjiwa kerdil. Sejarah kejayaan hanya datang dari rangkaian peristiwa-peristiwa kecil yang dilakukan oleh orang-orang berjiwa besar. Redaksi Indoporgress saya kira juga sudah memulai membidani peristiwa-peristiwa kecil tersebut, sebagaimana pepatah Jerman yang sering dikutip Bung Sjahrir “hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah bisa dimenangkan”. Saya tetap yakin, kita semua menunggu dan sedang bekerja untuk memulai ikatan-ikatan baru setelah keterpisahan yang bukan hanya usang tapi juga melelahkan.***

Saiful Haq, Mahasiswa Pasca Sarjana Studi Pertahanan, ITB.




No comments: